Ahyana : “Parkir Yang Menghidupiku”
Jakartakita.com: Terik siang, desir angin kering, asap kenalpot dan hingar bingar kendaraan yang lalu lalang merupakan keadaan sehari-hari di pusat kota Jakarta Utara. Berjalan di pelataran teras Kota Tua dan museum Fatahilah, Jakarta Utara selalu mengesankan, meski saya sudah beberapa kali mengunjungi lokasi yang menjadi salah satu sorotan ikon Jakarta. Duduk di pelataran kaki lima untuk sekedar beristirahat sejenak tak sengaja tatapan menuju pada seorang wanita dengan tampang lusuh dan gagahnya berseragam parkir biru muda. Beliau terlihat membenahi parkiran motor. Sesosok wanita yang menarik perhatian dan rasa penasaran saya ingin mencari tahu sekilas tentang hidup dan kesehariannya.
Bertemu dengan sosok sederhana yang tegar. Tegar di artikan baginya adalah saat ia bisa bertahan di Jakarta. Ahyana seorang ibu paruh baya berusia 52 tahun. Postur tubuh Bu Ahyana yang tegap, tinggi badan berkisar 165 cm, dengan berat badan 56 kg, dan warna kulit sawo matang sekilas terlihat juga bentuk wajah bulat yang terlihat sedikit berkerut di bagian dahi. Janda berambut panjang dan berwarna hitam kecoklatan yang di ikat karet gelang lusuh ini adalah seorang ibu dari 4 orang anak yang menghabisi tengah hari nya sebagai juru parkir. Tatapan yang tajam dan suara yang lantang menggema di pelataran parkir Kota Tua, Jakarta Barat menunjukkan sosok yang gagah berani. Keadaan yang memaksa sang ibu menggeluiti profesi yang tidak biasa. Beliau adalah juru parkir yang dengan gagah nya berseragam biru muda dan identitas jelas bertuliskan ‘Dinas Perhubungan : UP Perparkiran’.
Pekerjaan sehari-hari nya adalah menjaga parkiran motor dan mengatur letak motor yang berparkir di pelataran Kota Tua. Dengan seribu rupiah ia bertugas menutupi satu per satu jok motor pengendara yang berparkir. Ketika petang datang maka ia mulai membenahi motor yang siap di ambil oleh pemiliknya. Menggeser satu persatu motor yang di parkir secara asal atau tidak sesuai garis kuning di aspal perparkiran dengan tenaga nya sendiri. Bu Ahyana berkata “biar saja saya anggap lahan parkiran ini rupiah untuk makan hari ini dan saya bangga dengan uang lusuh bisa sekolahin anak ini, neng!” sambil tertawa terbahak-bahak.
Setiap hari nya Bu Ahyana pergi mencari receh rupiah. Ketika pagi menjelang ia telah bersiap menuju Kota Tua. Jarak jauh 40 km yang di tempuh Pamulang II – Jakarta Barat tidak meluluhkan semangat menggebu demi menghidupi keluarga nya. Menghidupi 4 orang anak hingga membiayai sampai pada perguruan tinggi adalah hal yang paling mebanggakan bagi nya. Ketiga anak nya sudah lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri di Depok. Semenjak sang suami meninggal dunia ia membiayai keempat anak nya sendiri dari hasil parkir nya. Keteguhan Ahyana membuat hidupnya terus membaik. Ketegaran menghadapi kerasnya profesi sebagai tukang parkir terdengar saat ia berujar “Terlalu banyak yang harus di syukuri ketimbang mengeluh”.
Jika ada yang bertanya, apakah tidak ada profesi yang lain yang bisa dipilih sebagai mana pantasnya wanita? Bu Ahyana yang mengaku masih banyak kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hanya menjawab inilah yang menghidupi saya. Kesabaran itu juga terwujud dari kesederhanaan sikap saat seringkali menerima tuduhan pencurian saat ada suatu barang yang hilang selama memarkirkan kendaraan. Namun keyakinannya tetap teguh menghadapi segala tantangan profesinya. “Kejujuran akan selalu berpihak pada kebenaran toh” ucap ibu paruh baya ini.
Sebuah pelajaran hidup tentang sabar dan ikhlasnya seorang wanita telah diperlihatkan oleh Bu Ahyana. Sama sekali tiada keluh kesah saat menggantikan posisi suami dengan memikul tanggung jawab keluarga. Kepekaan terhadap kebutuhan keluarga juga terlihat saat ia membantu sang anak mencapai kesuksesan melalui jerih payah receh yang ia kumpulkan tiap hari nya. Bu Ahyana hanya sesosok wanita yang semestinya menjadi renungan untuk kaum wanita lainnya bahwa kekuatan yang terkuat hanya ada pada seorang yang mampu bertahan karena daya dan upaya yang tiada habisnya di sertai dengan keikhlasan tanpa menyebut pengorbananya. Tetaplah jiwa kartini melekat pada sang ibu penuh perjuangan ini layaknya seorang manusia memburu hidup demi menghidupi anak manusia lainnya. (Arinda Mardiana)