Perang Ritel
Jakartakita.com: Salah satu strategi pemasaran yang paling menentukan dalam meraih target pasar sebanyak-banyaknya adalah lokasi yang tepat. Sebaik apapun kualitas produk/jasa anda, seheboh apapun iklan yang anda buat, ditambah dengan harga yang terjangkau tidak akan berhasil jika tidak ditunjang dengan lokasi yang strategis. Lokasi yang strategis adalah lokasi yang membidik target pasar anda. Jikalau produk andalah barang berkualitas rendah alias murahan, sudah barang tentu sangatlah tidak cocok, jika anda ikut-ikutan mengeluarkan budget besar untuk tempat di pusat perbelanjaan elit. Karena konsumen anda bukanlah golongan menengah ke atas yang mengutamakan kualitas. Begitu juga ketika barang yang anda tawarkan adalah barang mahal berkualitas wahid, sudah barang tentu tempat anda bukan di pasar becek.
Dalam memilih lokasi strategis untuk berbisnis pun membutuhkan keahlian khusus. Semakin anda mengenali produk anda, maka intuisi anda dalam meraba-raba lokasi strategis akan semakin baik. Seringkali orang beranggapan berjualan tanpa pesaing adalah lebih baik. Karena penjual bisa lebih fokus mengembangkan, membidik calon pembeli sebanyak-banyaknya dan akhirnya meraih untung yang banyak. Penjual tidak perlu memikirkan pesaing lain, karena dia adalah satu-satunya penjual di lokasi tersebut.
Satu-satunya warung nasi sederhana di suatu lokasi dekat pabrik atau proyek pembangunan jalan, pasti akan ramai dikunjungi pembeli. Karena buruh pabrik, kuli bangunan butuh makan dengan segala keterbatasan budget untuk makan. Satu-satunya toko alat tulis yang menyediakan layanan foto kopi di suatu kompleks sekolah/universitas pasti tak akan pernah sepi dari pembeli. Satu-satunya minimarket di sebuah komplek perumahan pasti akan menjadi satu-satunya tujuan belanja harian, karena lokasinya dekat tidak perlu membuang uang untuk transportasi.
Terkadang penjual malah membutuhkan pesaing untuk meraih laba lebih besar. Justru menjadi penjual tunggal dengan produk/jasa yang paling berbeda di suatu tempat malah tidak menguntungkan dirinya. Itulah mengapa banyak bermunculan ITC dengan lantai yang sudah disesuaikan dengan produk yang ditawarkan. Toko yang menjual software terkini dari komputer akan lebih menguntungkan bila berada di tempat yang sama dengan puluhan atau ratusan toko yang sama-sama menjual produk dan aksesoris komputer, dibandingkan berjualan sendirian di pasar ikan. Walau pun dia sebagai penjual tunggal, namun posisi itu justru tidak akan menguntungkan dirinya. Orang yang datang ke pasar ikan adalah calon pembeli ikan, bukan komputer. Seandainya ada yang membeli flash-disc mungkin itu hanya satu dua orang melek IT yang tak sengaja butuh flash-disc. Seandainya saya sedang membutuhkan flash-disc, kebetulan melihat toko aksesoris komputer di pasar ikan, saya juga tidak akan langsung membelinya.
Tidak sedikit penjual skala besar dengan manajemen profesional membutuhkan waktu, uang, dan tenaga yang besar untuk melakukan sebuah riset pencarian lokasi strategis. Anda mungkin masih ingat masa-masa kejayaan Indomaret sebagai satu-satunya chain-minimarket modern di Indonesia. Dalam mengembangkan bisnisnya, Indomaret tidak ingin gegabah dalam membuka cabang baru di lokasi yang baru. Indomaret melakukan serangkaian riset tentang lokasi baru tersebut. Biaya yang dikeluarkannya pun tidak sedikit. Maka lokasi Indomaret pada masa itu pun tak pernah sepi dari pengunjung. Lokasinya strategis dan menguntungkan. Mungkin anda pun dulunya pernah menjadi pembeli loyal Indomaret sebelum Alfamart datang.
Alfamart yang masuk belakangan mengetahui hal itu. Alfamart mengambil langkah cerdik dengan memangkas atau malah meniadakan biaya riset lokasi. Alfamart mengambil tempat bersebelahan atau malah berhadapan langsung dengan pendahulunya Indomaret. Alfamart dengan sangat tega mendeklarasikan dirinya sebagai pesaing Indomaret. Pangsa pasar Indomaret berkurang perlahan tapi pasti, terebut oleh Alfamart. Indomaret harus mulai belajar berbagi kue dengan Alfamart. Mungkin ini untuk kasus dua peritel dengan dua perusahaan yang berbeda. Bagaimana dengan peritel dari dua perusahaan yang sama?
Saya pernah melihat satu lokasi strategis yang semula hanya didiami oleh Indomaret, kemudian Alfamart datang menghadang tepat di seberang Indomaret. Kemudian Alfamidi ikut menyerbu di samping Indomaret. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankan Alfamart masih satu keluarga dengan Alfamidi? Hanya saja Alfamidi lebih besar dan lengkap. Produk yang ada di dalam Alfamart pasti tersedia di Alfamidi, namun produk yang ada di Alfamidi belum tentu ada di Alfamart. Keduanya pun menawarkan harga yang sama. Sebagai calon pembeli yang pintar, saya akan lebih memilih Alfamidi ketimbang Alfamart bila keduanya berada di satu lokasi yang sama.
Taktik Alfamart dalam memilih lokasi strategis rupanya juga ditiru oleh 7-Eleven, peritel asing yang sukses menjajah Indonesia. Di beberapa lokasi malah, 7-Eleven tak malu-malu lagi berada di satu kompleks dengan Alfamart dan Indomaret sekaligus.
Di negara asalnya Amerika Serikat, 7-Eleven yang pertama kali didirikan di Texas, Amerika Serikat pada tahun 1927 adalah convenience store atau toko kelontong. Namun kepopuleran 7-Eleven bak virus menular ddi Jakarta. Kehadirannya begitu cepat seperti jamur di musim hujan. Dalam jangka waktu 4 tahun, 7-Eleven sudah ada dimana-mana. Bahkan mengalahkan kepopuleran Alfamart, Indomart bahkan Circle K yang terlebih dahulu eksis.
Menilik dari sejarahnya, sebenarnya, 7-Eleven pernah hadir di Indonesia pada tahun 1980-an, namun usianya tidak lama. Sejak 1998, Seven & I Holdings Co (pemilik 7-Eleven Jepang) mulai mendekati PT Modern International (distributor Fuji Film) untuk melakukan kerjasama. Namun eksekusi itu tidak berhasil karena dihantam krisis moneter. Baru pada tahun 2006, saat penjualan rol film untuk kamera analog mulai menurun, PT Modern International mulai serius membuka jalan 7-Eleven di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan faktor penting pendorong berkembangnya outlet 7-Eleven di Indonesia.
Akhirnya setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang, outlet 7-Eleven yang pertama dibuka di akhir tahun 2009. Sejak itu, jumlah gerainya pun meningkat pesat dalam waktu yang relatif singkat. 7-Eleven menjadi ikon fenomenal untuk tempat nongkrong. Dengan jam buka 24 jam 7 hari dalam seminggu, 7-Eleven hampir tidak pernah sepi dari pengunjung, terutama di hari libur.
Jika di luar negeri terutama di Amerika Serikat, outlet 7-Eleven berukuran kecil seperti layaknya mini market yang menjual barang-barang kelontong. Maka outlet 7-Eleven Indonesia lebih mirip resto dengan ukuran outlet yang jauh lebih besar lengkap dengan bangku-bangku dan meja-meja cozy untuk hang out. Inilah mengapa 7-Eleven dengan cepat merebut popularitas Alfamart, Indomaret, Circle K dan sebagainya.
7-Eleven adalah potret keberhasilan peritel asing menjajah pasar Indonesia. 7-Eleven demikian jeli menangkap potensi pasar di Indonesia. Jangan heran bila suatu hari nanti target PT Modern Putra Indonesia yang ingin mengembangkan outlet 7-Eleven di Indonesia hingga 500 outlet hingga akhir 2014 dari target total 6.000 outlet akan tercapai. Bisa dibayangkan seperti apa nanti jadinya? Anda bisa bayangkan bagaimana nasib Indomaret dan Alfamart yang harus berbagi kue dengan ritel semacam 7-Eleven?
Ketika minimarket saling bersaing di lokasi pasar yang lebih kecil, semisal komplek perumahan atau pinggir jalan raya yang tidak terlalu besar. Maka Hipermarket membidik target pasar yang lebih luas daripada Alfamart/Indomaret/Alfamidi. Satu ritel besar sekelas Carrefour, Giant, Hypermart dan Lottemart akan membidik target pasar dari puluhan minimarket, ratusan warung kecil, pasar tradisional, dan lain-lain yang menjangkau warga dari berbagai komplek perumahan besar. Sebaran segmen pasar toko raksasa itu memang membentang dari kelas ekonomi B dan B+ (middle dan middle-upper) sampai kelas C dan C+ (lower dan middle-lower). Karakteristik segmen pasar ini memang sangat price sensitive.
Apa yang anda ingat jika anda ditanya tentang hypermarket? Toko-toko raksasa, dengan arena superluas, lorong-lorong lebar, puluhan ribu macam barang dengan harga supermurah, lengkap, kasir lebih dari 10, aneka promo yang tidak bisa anda temukan di toko lain, seperti gudang yang tertata rapih, ber-AC, keren, dan lain-lain.
Tak ada yang salah tentang penggambaran itu. Hipermarket memang menawarkan konsep belanja one-stop-shopping (semua dalam satu atap), keleluasaan, kenyamanan dan kelengkapan. Belum lagi ditambah dengan “jaminan” harga murah yang membuat umumnya orang-orang berbondong-bondong berkunjung dan memborong. Tak jarang dari pembeli yang malah kalap, memborong untuk stok persediaan atau malah dibagi-bagikan ke orang lain.
Memang, umumnya harga barang yang dijual disana relatif lebih murah. Terkadang pada saat promosi beberapa jenis barang malah bisa lebih murah dari harga pasar, bahkan dari harga beli normalnya. Kesan murah bukan tanpa sengaja diciptakan. Tetapi memang semua promosi sudah teragendakan dengan baik dengan didukung media advertising di media cetak maupun elektronik. Tapi memang kesan murah itu benar-benar nyata. Saya atau mungkin anda pasti pernah dibuat terheran-heran dan melongo ketika menemukan harga bawang putih/Bombay atau wortel yang lebih murah daripada harga di pasar tradisional yang becek.
Saya tidak bisa membayangkan nasib para petani yang sudah dipaksa sedemikian rupa sehingga mereka terpaksa menjual hasil taninya dengan harga semurah mungkin kepada sang raksasa ritel, bahkan nyaris ‘buntung’ karena hanya selisih tipis dengan modalnya. Saya yang sarjana pertanian dari Instititut Pertanian Bogor yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kemajuan pertanian Indonesia, terkadang merasa berdosa membeli hasil pertanian yang sedemikian murahnya. Karena saya pernah mewawancarai secara langsung para petani dalam rangka tugas KKN dan tugas Usaha Tani. Bagaimana sang petani harus mengencangkan ikat pinggang sambil banting tulang bercocok tanam dengan modal yang tidak sedikit. Belum lagi resiko gagal panen yang bisa datang kapan saja. Setelah hasilnya ada, mereka harus menyerahkan hasil panennya kepada tengkulak dengan nilai yang tidak sebanding dengan modal uang, tenaga, waktu yang sudah dikeluarkannya.
Bahkan saya pernah membuat sampel wawancara mendalam dengan sejumlah petani di Sukabumi dan Rangkas Bitung. Banyak di antara petani yang tidak tahu apakah dirinya untung atau tidak. Menurut hitungan saya dan beberapa mahasiswa saat itu, modal yang dikeluarkan petani masih lebih besar dari hasil yang didapat oleh petani. Padahal mereka telah mengorbankan waktu berbulan-bulan untuk memelihara tanamannya. Makanya tidak mengherankan bila banyak di antara mereka yang memilih meninggalkan profesi pertaniannya demi profesi buruh atau kuli bangunan di kota besar.
Kembali lagi kepada hipermarket. Media promosi hipermarket ini juga dilakukan melalui Katalog belanja berbentuk koran ‘harga murah’ yang dikeluarkan hampir seminggu sekali dengan tema berbeda sesuai dengan agenda promosi.
Masyarakat awam pasti akan berpikir bagaimana bisa peritel raksasa menawarkan harga ‘sangat murah’ dengan marjin yang sangat tipis? Bagaimana dengan keuntungan sangat kecil bisa membiayai operasional arena sedemikian luas yang memperkerjakan ratusan pekerja, dengan arel parkir luas, AC super dingin, menggaji para expat di jajaran manajemen, dll? Padahal mbok-mbok penjual sayur di pasar becek saja, masih pas-pasan hidupnya walau sudah menjual bawang di atas harga Carrefour.
Jawabannya sangat bisa. Jaringan peritel raksasa memiliki strategi pemasaran canggih. Karena selain mereka menerapkan strategi mix-margin, subsidi silang antar item, mereka juga mendapatkan extra-discount pembelian karena membeli pada produsen langsung dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu hipermarket juga menjadikan rabat (annual selling incentives), dan marketing income (fee) dengan menyewakan lahan bagi produsen untuk beriklan sebagai sumber pendapatan.
Meski tingkat harga jual ditekan sedemikian rendahnya. Marjin penjualan bisa dipertahankan sekitar 10-12% per-item barang. Karena peritel raksasa membeli barang dengan jumlah yang sangat besar dan dengan tingkat perputaran barang yang sangat cepat. Faktor ini yang meningkatkan kredibilitas peritel raksasa di mata produsen. Tidak mengherankan banyak produsen yang memasrahkan barangnya langsung didisplay di peritel raksasa tanpa pembayaran di muka. Hal ini membuat peritel raksasa tak ubahnya sebuah gudang raksasa sang produsen.
Logikanya begini; saat produsen menyelesaikan tugasnya memproduksi barang. Sang produsen membutuhkan lahan yang cukup sebagai gudang sementara sebelum barang didistribusikan ke peritel. Ini berarti biaya bagi sang produsen. Sang produsen harus memperhitungkan biaya sekian persen dari harga jual per item untuk maintenance gudang, menggaji pegawai gudang, mobilisasi, dll. Nah, jika peritel raksasa bersedia menerimanya, kenapa tidak. Setelah proses produksi, barang langsung diangkut ke lokasi peritel raksasa. Masalah pergudangan biar peritel raksasa yang mengatasinya. Beres!!! Cukup berikan insentif lebih untuk sang peritel raksasa yang sudah mau mengurusi pergudangan, sekaligus menjual. Insentif itu merupakan keuntungan lebih selain menjual dalam jumlah besar bagi peritel raksasa. Toh, kalau dihitung-hitung besarnya insentif tidak sebarapa dibandingkan produsen harus menyediakan gudang sendiri.
Selain diskon-diskon khusus yang diberikan oleh supplier. Peritel raksasa juga bisa mendapatkan income dari penyewaan ruang, baik ruang pajang (selling space) maupun ruang iklan (media ad / branding space). Keduanya tidak berhubungan langsung dengan tingkat penjualan saat itu, terutama hal yang terakhir. Namun dari sini peritel raksasa bisa mendapatkan potensi pendapatan yang tidak terbatas tergantung ‘akal-akalan’ peritel. Bahkan konon proporsi marketing income ini bisa mencapai 9 – 11% dari total net sales. Kalau perlu baju seragam pegawai peritel raksasa tersebut ditawarkan ruang untuk menempelkan logo suatu produk. Pintar kan?
Peritel raksasa menggali potensi setiap jengkal ruang yang bisa disewakan untuk promosi (below the line) para produsen yang barangnya dijual di sana. Ruang-ruang yang disewakan bisa berupa ruang pajang seperti; end-cap / top gondola, floor display, dancing up, dan blocking regular shelves. Bisa juga berupa penyewaan tempat untuk promosi merek seperti; sign-board, neon box, trolley tag, COC stopper, plasma TV, dan bahkan shopping bag. Semua digali secara kreatif untuk mendapatkan promotion fee.
Bahkan peritel raksasa bisa hampir tidak keluar biaya untuk promosi di media masa (TV, radio, Koran, majalah). Karena peritel raksasa bisa menggandeng supplier/produseen yang barangnya dipromosikan. Sumber uang lainnya adalah katalog promo yang berbentuk Koran. Semakin depan produk supplier dipajang di katalog, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkannya.
Tidak hanya itu. Mungkin anda memperhatikan ada item-item tertentu yang sangat mudah dicari di peritel raksasa, karena lokasi yang strategis dan sangat eye-catching. Jangan anda pikir, sang peritel hanya mempertimbangkan segi keindahan untuk mempercantik tokonya. Dan jangan anda pikiri itu adalah GRATIS. Halo! Hare gene, mana ada yang gratis?!?
Kalau anda pikir ada item-item tertentu yang sangat mudah ditemukan di belantara area toko dari peritel raksasa tanpa membutuhkan tenaga dan waktu ekstra sekaligus tanpa tanya-tanya ke SPG. Itu berarti supplier/produsen dari item barang yang anda cara membayar fee yang lebih besar dibanding item lainnya. Sedang item lain yang tidak membayar akan ditempatkan dirak-rak display yang hampir tidak terlihat dari koridor area toko. Mungkin anda harus bertanya kepada SPG lebih dari satu kali. Kalau perlu item-item dari produk yang tidak memberikan benefit lebih untuk sang peritel raksasa itu disembunyikan (hehhehehe….peace!).
Bagi anda produsen dari sebuah produk yang baru diluncurkan. Anda sebaiknya mempersiapkan budget lebih untuk listing fee di peritel raksasa. Itu semacam fee promosi pengenalan yang terintegrasi. Sang peritel akan menyediakan space khusus yang eye-catching selama kontrak listing fee. Belum lagi suara merdu dari mbak-mbak yang membahana memenuhi seantero area toko untuk mengumumkan perihal produk baru itu. Tetapi itu belum termasuk biaya untuk dicantumkan di katalog, plasma TV, iklan di media massa yah. Jadi bagi anda produsen baru yang mau ekspanski ke peritel raksasa, siapkan mental anda untuk melihat laporan keuangan yang minus alias tekor selama bulan promosi di peritel raksasa.
Supplier atau produsen dari item sejenis bisa saling perang harga jual yang murah di tingkat konsumen untuk merebut konsumen sebanyak-banyaknya di peritel raksasa. Tentu saja ini menguntungkan peritel raksasa, karena harganya akan semakin murah dan murah sekali dibandingkan harga di toko grosir sekalipun. Pembeli tentu juga diuntungkan, karena mereka bisa membelanjakan lebih dari nilai uang yang sama. Yang ‘megap-megap’ tentu saja produsen kecil.
Apakah memang ada etika bisnis ? Apakah bisnis memang perlu memperhatikan etika ? Bukankah bisnis dan etika berada di dua dunia yang berbeda ?
Akhir kata, ternyata memang etika bisnis nyaris tidak ada. Dimana-mana berlaku hukum rimba, yang kuat memakan yang lemah. Perang ritel akan terus terjadi, dan mungkin akan lebih parah dibandingkan sekarang. Tapi tenang saja, konsumen tidak akan dirugikan. Justru kita hak-hak kita sebagai konsumen lebih diperhatikan, mengingat mereka para ritel harus berlomba-lomba memberikan servis yang terbaik kepada pelanggannya. Sudah pasti kesempatan konsumen untuk mendapatkan harga lebih murah dan lebih murah lagi akan semakin terbuka lebar.
Tapi bagaimana nasib saudara-saudara kita yang kebetulan menjadi pedagang tradisional atau malah menjadi petani yang dipaksa menjual hasil panennya dengan murah? Wallahu’alam bisshawab, rezeki tidak akan kemana. Yang penting tetap semangat berikhtiar. Insya Allah ada jalan. Selagi perundangan-undangan anti perang ritel belum ada, maka silahkan keruk keuntungan sebesar mungkin bila anda tidak punya hati nurani.
Pertanyaan terakhir, sebetulnya etika dalam berbisnis itu ada tidak sih?