Mengenang Sejarah ‘May Day’
Jakartakita.com – Besok,Jumat (1/5/2015), buruh di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, untuk memperingati Hari Buruh Sedunia atau yang biasa disebut ‘May Day’. Ribuan buruh Jabodetabek akan menggelar aksi unjuk rasa di beberapa lokasi di Jakarta, terutama pusat-pusat pemerintahan seperti Istana Negara, dan Bundaran HI yang menjadi landmark kota Jakarta.
Tahun ini para buruh akan menggaungkan 10 tuntutan kepada pemerintah RI, yaitu kenaikan upah minimum regional (UMR) 32 persen, mendesak pemerintahan Jokowi-JK untuk menjalankan jaminan pensiun buruh wajib pada awal Juli 2015 dengan manfaat pensiun 60 persen hingga 75 persen dari gaji terakhir seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggaran jaminan kesehatan Rp30 triliun dari APBN, menghapus out-sourcing, menolak kenaikan BBM, menuntut penurunan harga sembako, mengakhiri corporate greed, pencabutan aturan tentang objek vital dan stop tindakan union busting dan kekerasan terhadap aktivis buruh, pengangkatan guru dan pegawai honorer menjadi PNS tanpa tes lagi, dan pengesahan RUU PRT.
Sebetulnya cikal bakal mengapa Hari Buruh Sedunia ‘May Day’ jatuh pada tanggal 1 Mei itu dimulai pada tahun 1806, ketika terjadi pemogokan pekerja di AS yang pertama kalinya. Ketika itu pekerja Cordwainers, perusahaan pembuat sepatu, melakukan mogok kerja. Namun para pengorganisir aksi mogok kerja itu dibawa ke pengadilan untuk diproses hukum.
Dalam pengadilan itu, terungkap fakta pekerja di era itu benar-benar diperas keringatnya. Mereka harus bekerja 19-20 jam per harinya. Dengan waktu istirahat yang hanya 4 jam dalam sehari, otomatis mereka tidak punya kehidupan lain di luar bekerja untuk perusahaan yang membayar mereka.Maka kelas pekerja Amerika Serikat pada masa itu kemudian memiliki agenda perjuangan bersama, yaitu menuntut pengurangan jam kerja.
Namun, hari buruh internasional atau ‘May Day’ baru disahkan pada Kongres Sosialis Dunia yang digelar di Paris pada Juli 1889. Hal ini semakin memperkuat keputusan Kongres Buruh Internasional yang berlangsung di Jenewa tahun 1886.
Sedangkan di Indonesia sendiri, ‘May Day’ baru diperingati oleh para buruh dalam negeri pada tanggal 1 Mei 1918. Sebuah perayaan besar di Surabaya kala itu dihadiri ratusan anggota Serikat Buruh Kung Tang Hwee Koan. Sneevliet dan Bars menghadiri perayaan hari buruh itu dan menyampaikan pesan ISDV di sana. Serikat buruh itu sebetulnya bermarkas di Shanghai, tetapi punya ratusan anggota di Surabaya.
Perayaan Hari buruh bukan hanya didominasi oleh golongan komunis, tetapi juga oleh serikat-serikat buruh non-komunis. Misalnya, pada hari buruh 1921, Tjokroaminoto, ditemani muridnya, Soekarno, naik ke podium untuk berpidato mewakili Serikat Buruh di bawah pengaruh Sarekat Islam.
Sejak 1918 hingga 1926, gerakan buruh mulai secara rutin memperingati Hari buruh sedunia itu, yang biasanya dibarengi dengan pemogokan umum besar-besaran.
Pada tahun 1926, menjelang rencana pemberontakan PKI melawan kolonialisme Belanda, peringatan Hari Buruh ditiadakan. Pada saat itu, karena cerita mengenai rencana pemberontakan sudah menyebar dari mulut ke mulut, maka banyak pihak yang menduga peringatan Hari Buruh Internasional sebagai momen pecahnya pemberontakan.
Setelah meletus pemberontakan bersenjata pada tahun 1926 dan 1927, peringatan Hari Buruh Sedunia sangat sulit untuk dilakukan. Pemerintah kolonial mulai menekan serikat buruh dan melarang mereka untuk melakukan perayaan.
Peringatan Hari Buruh Sedunia kembali diperingati pada tahun 1946. Pada peringatan Hari Buruh tahun 1947 di Jogjakarta, sebuah dokumen Amerika bercerita bagaimana massa membawa spanduk bergambar palu-arit, photo wajah Karl Marx, Lenin, dan Stalin. Meski begitu, golongan kiri agak tersinggung karena sedikitnya golongan tentara yang ikut dalam perayaan itu.
Pada tahun 1948, kendati dalam situasi agresi militer Belanda, perayaan Hari Buruh Sedunia berlangsung besar-besaran. Saat itu, 200 ribu hingga 300 ribu orang membanjiri alun-alun Jogjakarta, untuk memperingati Hari Buruh Sedunia. Menteri Pertahanan, Amir Sjarifoeddin, memberikan pidato kepada massa buruh dan rakyat di alun-alun itu. Selain Amir, Menteri Perburuhan dan Sosial Kusnan dan Ketua SOBSI Harjono juga memberi pidato. Hatta dan Panglima besar Jend. Soedirman juga hadir dalam perayaan hari buruh ketika itu.
Dan, di tahun 1948, dikeluarkan UU Kerja nomor 12/1948 yang mengesahkan 1 Mei sebagai tanggal resmi hari Buruh. Dalam pasal 15 ayat 2 UU No. 12 tahun 1948 dikatakan: “Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja”.
Begitulah, ketika pemerintahan Bung Karno masih berjalan, peringatan Hari Buruh Internasional secara rutin berjalan dan resmi diakui oleh negara.
Pada masa rezim kapitalis militeristik Soeharto berkuasa, peringatan May Day diharamkan karena dianggap dekat dengan komunisme. Siapapun yang merayakan hari buruh sedunia dianggap melakukan tindakan subversif, melawan hukum.
Saat itu, pemerintah Soeharto hanya mengakui Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang didirikan pada 20 Februari 1973 sebagai satu-satunya sarekat buruh. Pemerintah lalu menetapkan hari lahirnya SPSI sebagai Hari Pekerja Nasional. May Day-pun terlupakan.
Setelah sekian lama dibungkam, pada tahun 1995, sejumlah pemuda yang menggabungkan diri dalam Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) kembali merayakan May Day dalam bentuk aksi massa. Inilah perayaan May Day pertama di era kekuasaan Soeharto.
Sejarah mencatat, perayaan tersebut digelar di dua kota besar, yakni Semarang dan Jakarta. Hari itu para buruh menyerukan tuntutan; kebebasan berserikat, stop intervensi militer (dwi fungsi ABRI) dan upah minimum Rp7.000/hari dari sebelumnya Rp3200/hari di Semarang dan Rp3.600-4.000/hari di Jakarta.
Tak bisa dipungkiri, PPBI-lah pelopor perayaan May Day di negeri ini paska dibungkam Soeharto. Pasca Soeharto lengser, mulai tahun 1999 hingga hari ini May Day dirayakan setiap tahunnya.