Pengamat : Moratorium Alih Muatan di Tengah Laut Mendesak Untuk Dicabut
Jakartakita.com – Ekonom dari Universitas Sam Ratulangi, Agus Tony Poputra, mengatakan bahwa moratorium alih muatan di tengah laut sudah mendesak untuk dicabut sebab lebih besar mudharat ketimbang manfaat.
Kebijakan moratorium itu sendiri ibarat pepatah, buruk rupa cermin dibelah. Persoalan sesungguhnya adalah pada pengawasan tetapi yang dipersalahkan adalah aktivitas alih muatan tersebut.
Menurut Agus, alasan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk memperpanjang moratorium sebagaimana dilansir oleh beberapa media massa yaitu pengawasan atas kapal penampung tidak menjamin tidak adanya pelarian sumber daya laut ke luar negeri, adalah alasan yang tidak logis.
“Pertanyaannya, apakah ada jaminan dengan moratorium saat ini tidak ada sumber daya laut Indonesia yang dilarikan?” katanya kepada Jakartakita.com, melalui surel, Jumat (10/7/2015).
Agus menuturkan, seperti halnya terjadi sektor Kehutanan dimana adanya larangan pembalakan liar, namun faktanya pembalakan liar tetap terjadi.
“Jadi substansinya bukan pada aturan tetapi penegakan aturan. Penegakan aturan juga tidak menjamin 100 persen tidak ada pelanggaran. Pada negara-negara yang memiliki penegakan hukum yang baik pun tetap terjadi pelanggaran walaupun dengan frekuensi yang lebih jarang,” jelasnya.
Intinya, sambung dia, tidak ada kebijakan terbaik di dunia ini tanpa ada mudharatnya. Sepanjang aktivitas memiliki jumlah pelanggaran yang terkendali dan memiliki manfaat jauh lebih besar dari mudharatnya, maka pemerintah wajib mendukungnya lewat kebijakan yang pasti, bukan justru melarang.
Beberapa mudharat, kata Agus, berdampak luas timbul dari kebijakan moratorium alih muatan di tengah laut. Pertama, menurunkan kinerja industri pengolahan ikan. Hal ini tidak mendukung upaya pemerintah untuk mengembangkan industri pengolahan. Di satu sisi pemerintah berusaha mencari investor asing, yang cenderung menggadaikan masa depan bangsa, untuk membangun industri pengolahan, di sisi lain kebijakan moratorium justru cenderung mematikan industri yang telah ada. Seharusnya Kementerian Perindustrian memperhatikan hal ini.
Kedua, penurunan kegiatan produksi perusahaan pengolah hasil perikanan telah menimbulkan gelombang PHK. Hal itu sangat disayangkan terjadi saat angka pengangguran di Indonesia semakin tinggi dan penciptaan lapangan kerja makin melambat.
Ketiga, moratorium alih muatan tengah laut telah menurunkan ekspor dari sektor Perikanan. Hal ini berdampak luas terhadap kinerja perdagangan dan perolehan devisa bagi negara yang menjadi domain Kementerian Perdagangan dan Bank Indonesia. Ini sangat ironis saat Indonesia berusaha untuk meningkatkan surplus perdagangan luar negeri.
Keempat, penurunan pendapatan perusahaan yang berkecimpung di sektor Perikanan serta pekerja yang terkena PHK telah menurunkan penerimaan pajak. Ini juga paradoks dengan kondisi penerimaan pajak yang masih jauh di bawah target.
Kelima, nelayan di banyak daerah justru dirugikan oleh kebijakan moratorium. Mereka menghadapi penurunan tangkapan dan peningkatan biaya karena harus bolak-balik ke pelabuhan pendaratan.
Ditambahkan, dampak negatif lintas kementerian yang disebabkan oleh satu kementerian seharusnya menjadi perhatian para menteri koordinator.
“Pemerintah seharusnya mengumpulkan para pemilik perusahaan pengolahan, pihak yang melakukan kegiatan penangkapan moderen, pihak perbankan, dan pengusaha galangan kapal untuk pengadaan kapal penampung nasional bagi perusahaan pengolahan. Ini akan memberi dampak luas tidak hanya bagi sektor Perikanan tetapi juga bagi industri perbankan dan galangan kapal,” tandasnya.