Penanganan Rupiah Harus Menyentuh Faktor-Faktor Fundamental
Pelemahan Rupiah beberapa bulan terakhir perlu diseriusi. Sejak 15 Juli 2013, kurs Rupiah terhadap US Dollar tidak pernah kembali ke angka di bawah Rp 10.000/USD. Bahkan pada 5 Maret 2015 menembus angka Rp 13.000/USD. Bukan tidak mungkin situasi tahun 1998 terulang kembali jika BI dan pemerintah tidak melakukan kebijakan yang substansial untuk mencegahnya.
Persiapan pemerintah untuk membentuk Crisis Management Protocol (CMP) dapat saja meredam penurunan rupiah lebih lanjut lewat jalur psikologis. Namun, efektivitasnya tergantung pada persepsi dan respons pelaku pasar uang dan efektvitasnya tidak menetap.
Terdapat pendapat bahwa pelemahan Rupiah memberi keuntungan bagi Indonesia karena dapat meningkatkan ekspor. Hal itu benar hanya jika ekspor Indonesia jauh melampaui impor serta ekspor tersebut berupa barang jadi maupun barang intermediate. Namun fakta menunjukan impor Indonesia telah melewati ekspor pada beberapa tahun terakhir. Selain itu, ekspor Indonesia kebanyakan berupa komoditas sehingga harganya murah dan sangat fluktuatif. Dengan demikian, besarnya penerimaan ekspor komoditas tidak semata persoalan kurs tetapi juga volatilitas harga.
Pendapat yang menjustifikasi pelemahan Rupiah tersebut kurang mempertimbangkan kepentingan konsumen. Pelemahan Rupiah akan mendorong kenaikan inflasi lewat sisi biaya (cost push inflation) mengingat barang dan jasa impor sudah mendominasi pasar Indonesia. Juga, kebanyakan bahan baku di impor. Inflasi lewat sisi biaya juga terjadi dari peningkatan beban keuangan produsen yang memiliki utang luar negeri yang ditranslasikan keharga jual produk yang lebih tinggi. Ini berdampak pada tergerusnya daya beli konsumen.
Stabilisasi Rupiah yang hakiki tidak dapat diselesaikan lewat kebijakan yang bersifat responsif. Kebijakan tersebut umumnya hanya member solusi jangka pendek.Terdapat beberapa factor yang membuat Rupiah sangat rentan terhadap pengaruh global.
Pertama, kurangnya usaha serius pemerintah selama beberapa decade mendorong produksi barang substitusi impor. Hasilnya tekanan impor semakin deras yang berujung Rupiah semakin terekspos.
Kedua, lambatnya penerapan kebijakan hilirisasi terutama di sector pertambangan. Ini membuat sumber daya alam terdeplesi luar biasa namun nilai tambah domestiknya sangat kecil. Selain itu, terjadi export illusion yang signifikan pada sector pertambangan yaitu nilai ekspor besar tetapi devisa masuk kecil. Ini membuat Dana Pihak Ketiga perbankan dalam negeri tumbuh lambat serta cadangan devisa tidak meningkat signifikan.
Selama empat tahun terakhir, cadangan devisa Indonesia hanya berkutat pada USD 95-124,64 miliar dimana tertinggi sebesar USD 124,64 miliar dicapai pada Agustus 2011. Angka tertinggi ini sulit dicapai kembali, bahkan Mei 2015 posisinya “hanya” sebesar USD 110,8 miliar. Jumlah sebesar itu membuat intervensi BI untuk menstabilisasi Rupiah tidak terlalu kuat.
Ketiga, lebih dari 20 tahun pemerintah tidak memberi perhatian serius terhadap kebijakan local content. Dampaknya, nilai impor bahan baku semakin meningkat seiring bertambahnya permintaan produk untuk pasar domestic maupun ekspor.
Keempat, meningkatnya perilaku konsumsi barang impor sebagai alat aktualisasi diri sehingga meningkatkan permintaan barang impor. Kondisi ini terjadi karena minimnya kampanye untuk menggunakan produk dalam negeri.
Kelima, penerapan kebijakan devisa yang terlalu bebas. Ini mengakibatkan sulit mengendalikan pergerakan devisa sehingga Rupiah menjadi mudah dimainkan.
Mengingat pelemahan nilai Rupiah lebih dominan disebabkan oleh faktor-faktor fundamental, maka penangannya juga harus menyentuh faktor-faktor fundamental tersebut.
Pertama, perlu kebijakan yang mendorong industry penghasil produk substitusi impor yang banyak dikonsumsi masyarakat. Juga dibutuhkan kebijakan untuk mengintegrasikan usaha besar, menengah dan kecil yang berada dalam satu mata rantai produksi kedalam hubungan Inti-Plasma.
Kedua, pemerintah harus tegas dan konsisten dalam kebijakan hilirisasi. Kebijakan ini perlu ditunjang dengan percepatan pembangunan infrastruktur terutama perhubungan dan listrik.
Ketiga, menerapkan kembali kebijakan local content serta melakukan pengawasan yang ketat. Ini berguna untuk mengurangi tekanan impor bahan baku.
Keempat, melakukan kampanye besar-besaran untuk menggunakan produk dalam negeri terutama lewat jalur pendidikan mulai dari sekolah dasar. Kampanye untuk peserta didik usia dini sangat dibutuhkan sebab pola piker kelompok ini lebih mudah diarahkan.
Kelima, kebijakan devisa perlu diramu kembali untuk memperkuat posisi BI atas lalu lintas devisa. Salah satunya adalah memperpanjang waktu endap devisa hasil ekspor di perbankan nasional. Juga, harus tegas dan konsisten dalam penerapan Rupiah sebagai mata uang transaksi dalam negeri serta pembelian emas dalam negeri oleh BI untuk memperkuat cadangan devisa.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Staf Pengajar di Universitas Sam Ratulangi, Manado