Indonesia Masuk Tahapan Resesi, Butuh Kebijakan Stimulus
Secara teoritis Indonesia saat ini telah memasuki tahap resesi. Ini ditandai oleh kontraksi ekonomi triwulan ke triwulan (q-t-q) untuk dua triwulan terakhir secara berturut-turut. Ekonomi Indonesia padaTriwulan IV-2014 tumbuh negatif 2,06 persen dan Triwulan I-2015 sebesar negatif 0,18 persen.
Bila situasi ini tidak direspons dengan kebijakan stimulus serta langkah-langkah komprehensif dan terintegrasi dari pemerintah dan Bank Indonesia (BI), maka akan terjadi “lingkaran setan” yang menuju depresi ekonomi. Dalam kondisi inflasi tinggi yang masih membayang, maka akan terjadi stagflasi, yaitu resesi dan inflasi sekaligus.
Dampaknya akan sangat berat bagi masyarakat dan tentunya sangat tidak diharapkan sebab akan memicu masalah sosial yang bertensi tinggi.
Pernyataan tentang kondisi resesi yang dialami Indonesia tidak semata didasarkan pada definisi resesi pada tataran teoritis, tetapi juga pada fakta di lapangan. Secara kasat mata, terjadi kelesuan transaksi di pasar. Ini tidak hanya dialami oleh bisnis kebutuhan tersier dan sekunder, tetapi juga bisnis kebutuhan primer yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Para penjual sembako telah merasakan turunnya pendapatan mereka secara cukup signifikan.
Penurunan daya beli masyarakat Indonesia saat ini disebabkan berbagai permasalahan, diantaranya pelemahan pertumbuhan ekonomi China yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, penurunan nilai Rupiah, kegagalan kebijakan hilirisasi industry dan local content selama beberapa decade terakhir, gonjang-ganjing politik yang mengganggu ekonomi, dan sebagainya.
Seiring dengan pembenahan akar permasalahan yang ada, dibutuhkan langkah cepat agar Indonesia keluar dari resesi saat ini. Langkah cepat untuk mengatasi resesi saat ini adalah intervensi pemerintah lewat belanja yang lebih besar dan cepat dipasar untuk mengimbangi penurunan daya beli masyarakat dan sector swasta.
Sayangnya, kondisi penerimaan pajak saat ini yang relative rendah akan menghambat upaya pemerintah tersebut. Oleh sebab itu, butuh terobosan untuk mendanai belanja intervensi pemerintah.
Pada beberapa waktu terakhir, pembiayaan eksternal pemerintah salah satunya diperoleh lewat penjualan obligasi pemerintah kepada masyarakat dalam negeri. Kebijakan ini baik untuk mengurangi utang luar negeri, tetapi secara ekonomi menimbulkan crowding out, yaitu rebutan dana antara pemerintah dan sector swasta dalam negeri atas dana masyarakat.
Akibatnya, biaya dana perbankan dan suku bunga kredit bertengger pada level yang relative tinggi.
Cara untuk mengatasi crowding out adalah melalui pembelian obligasi pemerintah oleh Bank Indonesia (BI). Ini mirip dengan kebijakan quantitative easing yang diterapkan oleh bank sentral Amerika Serikat, namun yang dibeli adalah obligasi pemerintah, bukannya surat berharga perusahaan.
Cara ini lebih efektif ketimbang BI membeli surat berharga perusahaan sebab dana tersebut dapat mudah mengalir keluar negeri oleh perusahaan-perusahaan penerima stimulus. Akibatnya dampak positif quantitative easing menjadi lambat terwujud sebagaimana dialami Amerika Serikat.
Quantitative easing lewat pembelian obligasi pemerintah oleh BI akan mengurangi aliran dana keluar negeri dan membuat pemerintah dapat memperbesar dan mempercepat realisasi belanja. Dengan demikian dapat menutup penurunan daya beli masyarakat sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dana untuk membeli obligasi pemerintah dapat diperoleh BI lewat pencetakan uang. Kebijakan ini dapat meningkatkan inflasi namun sepanjang hal tersebut dilakukan secara terukur, maka dampak inflasinya tidak besar dan dapat ditutup oleh peningkatan pendapatan masyarakat dari stimulus belanja pemerintah.
Selainitu, dalam konteks ekonomi secara luas, lebih baik terjadi peningkatan inflasi secara terkendali disbanding terjadi resesi ataupun depresi karena efek negative resesi dan depresi jauh lebih berat***
Penulis : Agus Tony Poputra, Staf Pengajar Universitas Sam Ratulangi Manado