Yang Keberatan Atas Kenaikan Bea Masuk Mobil CBU Bukti Ketidakpedulian Terhadap Bangsa
“Pebisnis otomotif yang berkeberatan dengan kenaikan tarif bea masuk impor mobil secara utuh (completely build up-CBU) dari 40% menjadi 50% adalah mereka yang hanya mementingkan bisnis mereka sendiri dan tidak peduli terhadap kepentingan bangsa.”
Bila mempertimbangkan manfaat ekonomi, impor mobil CBU sebaiknya dilarang sebab dampak positif bagi ekonomi domestik sangat kecil, justru lebih mempelihatkan kesenjangan ekonomi antar kelompok dalam masyarakat. Ini akan menimbulkan kecemburuan sosial yang berdampak terhadap tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kecemburuan tersebut.
Pada era Orde Baru, impor mobil CBU secara umum dilarang. Izin diberikan hanya untuk keperluan negara terkait penyelenggaraan kegiatan internasional yang melibatkan banyak kepala negara. Pertimbangan utama adalah impor mobil CBU tidak mendukung pengembangan industri otomotif dalam negeri dan tidak menciptakan lapangan pekerjaan yang berarti. Lapangan kerja yang tercipta dari impor mobil CBU hanya lapangan kerja untuk pekerjaan administrasi dan penjualan.
Jika disandingkan dengan impor Completely Knock Down (CKD), maka lapangan kerja dari mobil CBU menjadi sangat tidak berarti. Untuk kegiatan perakitan (assembling) CKD dapat menciptakan ribuan lapangan pekerjaan. Belum lagi ditambah dengan lapangan kerja pada kegiatan produksi komponen-komponen domestik dalam mendukung industri otomotif sebagaimana yang terjadi di Astra Mobil.
Dalam kondisi pertumbuhan angkatan kerja yang relatif tinggi jika dibanding dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan, maka kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan lapangan pekerjaan seharusnya didukung. Peningkatan penerimaan negara atas kenaikan bea masuk merupakan hal yang penting, namun yang lebih penting adalah penciptaan lapangan pekerjaan. Semakin luas lapangan pekerjaan, semakin besar potensi penerimaan pajak dan semakin menurun masalah social di masyarakat.
Upaya Kementerian Keuangan tersebut tidaklah cukup untuk perluasan lapangan pekerjaan jika tidak didukung oleh kebijakan dari kementerian-kementerian teknis.
Dalam kasus mobil CBU, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong impor CBU menjadi impor CKD. Perubahan itu tidak sekedar meningkatkan kegiatan perakitan tetapi juga industry komponen otomotif.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat juga perlu menjadikan sinergitas antara pengusaha besar, menengah, dan kecil dalam mata rantai bisnis otomotif sebagai inti kebijakan. Dengan sinergitas, diharapkan tenaga kerja Indonesia tidak sekedar menjadi buruh pabrik namun dapat berperan sebagai wirausaha penunjang bisnis otomotif yang pada gilirannya dapat menciptakan kesejahteraan bersama. Selain itu, dapat mendorong Indonesia menjadi produsen otomotif terbesar di ASEAN***
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom dari Universitas Sam Ratulangi Manado