Tidak Perlu Reaksi Berlebihan Atas Kebijakan Suku Bunga The Fed
Pelaku pasar keuangan domestik tidak perlu bereaksi berlebihan atas rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikan suku bunga acuannya.
Belum ada penelitiaan empirik yang sahih yang memperlihatkan kebijakan The Fed tersebut dengan kinerja pasar keuangan Indonesia. Reaksi berlebihan hanya merugikan perekonomian Indonesia dan dalam jangka panjang merugikan pelaku keuangan domestik itu sendiri.
Dengan kemajuan teknologi serta kebebasan informasi membuat aksi di pasar keuangan lebih banyak dipengaruhi factor psikologis ketimbang faktor fundamental.
Faktor psikologis rentan terhadap pembentukan opini. Para pelaku pasar keuangan dengan kemampuan financial besar dan ingin mendapat keuntungan abnormal akan berusaha membentuk opini. Pembentukan opini ini untuk menggiring pelaku pasar lain melakukan aksi sesuai harapan mereka sehingga para pelaku pasar tadi mendapat keuntungan abnormal dari gejolak pasar yang terjadi.
Sesungguhnya tujuan pelaku pasar keuangan untuk mendapatkan laba abnormal lewat gejolak pasar tidak tercapai jika para pelaku pasar lainnya bersikap netral.
Sayangnya banyak pelaku pasar domestic memiliki ketakutan berlebihan terhadap penurunan nilai aset mereka. Mereka tergiring melakukan aksi yang diinginkan pelaku serakah yang sejatinya tidak merefleksikan kondisi riil.
Depresiasi Rupiah yang terjadi beberapa waktu terakhir ini mencerminkan pengaruh psikologis di pasar keuangan. Opini yang dibentuk adalah potensi keluarnya modal dari Indonesia jika The Fed menaikan suku bunga acuannya.
Namun demikian, jika memperhatikan fundamental ekonomi Amerika Serikat (AS) saat ini yang belum menjanjikan, maka diperkirakan aliran dana keluar dari Indonesia dan mengalir ke AS tidak akan besar.
Belum baiknya perekonomian AS ditandai oleh masih lemahnya kinerja beberapa indikator utama, yaitu:
Pertama, pertumbuhan ekonomi triwulan ke triwulan AS masih sangat fluktuatif. Walaupun pada Triwulan II-2015 tumbuh 2,3%, namun pada triwulan sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 0,2%.
Kedua, apreasiasi US dollar yang relative tinggi dalam beberapa waktu terakkhir membuat produk AS kurang kompetitif di pasar dunia. Bila The Fed menaikan suku bunga, maka dana semakin mengalir masuk ke AS. Ini mengakibatkan US dollar akan semakin terapresiasi. Kondisi ini tentunya akan merugikan perusahaan-perusahaan di AS berorientasi ekspor.
Ketiga, tingkat inflasi AS selama tahun 2015 sangat rendah, bahkan pada 5 bulan pertama cenderung deflasi. Ini membuat The Fed tidak menghadapi tekanan untuk menaikan suku bunga demi mengendalikan tingkat inflasi.
Berdasarkan tiga kondisi yang dihadapi AS saat ini, maka diprediksikan kecil kemungkinan The Fed akan menaikan suku bunga sebagaimana direncanakan.
Seandainya jadi dinaikan, maka kenaikan hanya berada pada kisaran 0,25 – 0,5%. Oleh sebab itu, Bank Indonesia tidak perlu latah menaikan BI rate.
Pada posisi BI rate yang relative tinggi dan pertumbuhan yang melambat saat ini, kebijakan menaikan BI rate akan semakin memperlambat pertumbuhan kredit perbankan dan perekonomian Indonesia.
Mengingat aksi di pasar keuangan banyak dipengaruhi oleh opini yang terbentuk, maka pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan lembaga terkait harus mampu mengembangkan opini yang didasarkan pada bukti. Ini untuk menandingi opini yang merugikan pasar keuangan dan perekonomian Indonesia.
Di sisi pelaku pasar keuangan domestik, perlu adanya kesadaran untuk tidak mengorbankan kepentingan bangsa hanya untuk kepentingan pribadi sesaat dengan latah mengikuti aksi pemain asing. Bila perekonomian Indonesia mengalami dampak negatif yang parah, maka pelaku pasar domestik juga akan merasakan akibatnya.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom Universitas Sam Ratulangi