Aliansi Kebangsaan : Penting Untuk Dihidupkannya Kembali GBHN
Jakartakita.com – Dewasa ini, pembangunan Indonesia dihadapkan pada problem diskontinuitas dan diskonektivitas.
Para pengambil keputusan politik terjebak pada kepentingan jangka pendek dan terfragmentasi menurut garis kepartaian dan kedaerahan.
Dengan kondisi seperti itu, pilihan-pilihan kebijakan sering bersifat tambal-sulam dan parsial; mengabaikan pilihan-pilihan strategis yang bersifat fundamental dan integral, yang memerlukan kesinambungan dan keterpaduan berjangka panjang.
Menyikapi kondisi tersebut, sekelompok cendekiawan nasional yang tergabung dalam Jaring Cendekia – Aliansi Kebangsaan, menghendaki dihidupkannya kembali substansi haluan kebijakan negara dalam suatu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dr. Yudi Latif, salah satu anggota yang tergabung dalam Jaring Cendekia – Aliansi Kebangsaan mengatakan, kehendak menghidupkan kembali GBHN tidaklah berarti bahwa bentuk dan kandungan GBHN itu harus sama dan sebangun dengan GBHN yang pernah dibuat di masa Orde Baru.
Kandungan GBHN, kata Yudi, cukuplah berisi pedoman-pedoman dasar (guiding principles) atau arahan-arahan dasar (directive principles) yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan di segala bidang.
“GBHN harus kita hidupkan kembali. Harus ada GBHN baru, yang isinya tidak perlu detil pada program-programnya. Tapi harus ada pedoman-pedoman dasarnya,” kata Yudi, kepada Jakartakita.com, di sela-sela diskusi bersama awak media di Hotel Sultan Jakarta, Jumat (11/9/2015).
Sementara itu, Dr Saafroedin Bahar mengatakan, selain persoalan teknis-instrumental, ada persoalan prinsipil. Dalam konsepsi negara kekeluargaan, haluan negara sebagai norma dasar itu mestinya dirumuskan oleh pelbagai representasi kekuatan politik dalam lembaga tertinggi negara (MPR).
“Ekses negatif dari kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara di masa lalu sebenarnya bisa saja dihilangkan. Misalnya saja, tata cara pemilihan utusan golongan di MPR bisa ditinjau ulang. Untuk menghindari MPR bersifat semena-mena, bisa diatur supaya MPR tidak bisa langsung menjatuhkan Presiden tanpa melalui mekanisme pengadilan impeachment,” ujarnya.
Pontjo Sutowo, salah seorang pendiri Aliansi Kebangsaan menambahkan, banyak contoh kasus yang sekarang ini terjadi, yang melatarbelakangi pentingnya dihidupkannya kembali substansi haluan kebijakan negara dalam suatu GBHN.
Ia menyebut salah satu contohnya yaitu kebijakan di bidang energi. Menurutnya, banyak kebijakan pemerintah yang telah menyimpang dari substansi dasar Pasal 33 UUD 1945, yang mana dalam salah satu ayatnya menyebutkan bahwa; “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
“Di sektor transportasi juga bermasalah. Kenapa ngga bikin KA (kereta api) yang lebih efisien dalam hal energi untuk mengangkut barang-barang logistik? Kenapa jalan Pantura selalu rusak? Karena barang-barang kita diangkut lewat jalur darat bukan lewat laut,” imbuhnya.
“Di sektor teknologi juga demikian. Walaupun pembangunan mencapai 6-7 persen, misalnya. Tetap saja impor bahan bakunya masih dominan. Artinya, ada permasalahan dalam mengelola Republik ini. Kerjasama dengan asing boleh-boleh saja, tapi kedaulatan tetap harus jadi milik kita. Saya kira, kita tidak boleh menyerahkan negara ini kepada beberapa orang dengan selera masing-masing,” tandasnya.