Tidak Logis Membandingkan Secara Parsial Utang Antar Era Pemerintahan
Utang baru pemerintah dalam APBN-P tahun 2015 sebesar Rp 453,1 triliun, berasal dari penerbitan SBN dan pinjaman luar negeri.
Besaran tambahan utang ini dipersoalkan oleh beberapa pihak karena jauh lebih besar dari utang pemerintah Era Soeharto selama 30 tahun dan tambahan utang selama Pemerintahan SBY selama 10 tahun.
Namun, membandingkan utang pemerintah Jokowi-JK dengan pemerintahan sebelumnya secara parsial, tidak logis. Hal tersebut karena setiap pemerintahan menghadapi kondisi ekonomi dan sosial yang berbeda serta perbedaan fokus kebijakan.
Beberapa kondisi dapat menjelaskan mengapa utang era Soeharto tidak besar. Pertama, pada era Soeharto daya beli uang sangat besar. Sebagai contoh, dengan uang Rp 1 juta saat itu dapat memperoleh banyak barang dan jasa. Namun seiring terjadinya inflasi dari tahun ke tahun, daya beli uang menurun drastik sehingga jumlah yang sama saat ini hanya memperoleh sedikit barang dan dan jasa. Dengan demikian, kebutuhan belanja tidak besar.
Kedua, pada era Soeharto Indonesia masih pengekspor migas netto dan mengalami beberapa kali oil boom sehingga mampu membiayai belanja pemerintah tanpa perlu utang yang besar.
Ketiga, populasi Indonesia jauh lebih sedikit dibanding saat ini. Oleh sebab itu, kebutuhan belanja pemerintah untuk kepentingan masyarakat masih terbatas.
Keempat, jumlah pemerintah daerah di Indonesia masih sedikit serta pemerintah bersifat sentralistik sehingga kebutuhan belanja rutin juga terbatas.
Pada pemerintah SBY situasinya juga berbeda. Pemerintah lebih menonjolkan stabilisasi dan pembayaran utang ketimbang pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Akibatnya, di sektor pertanian, lebih dari 60 persen irigasi dalam kondisi rusak parah tanpa sentuhan berarti.
Demikian juga dengan listrik yang sangat dibutuhkan masyarakat dan dunia usaha tidak terbangun sesuai target. Proyek listrik 10.000 MW tidak tercapai. Kurangnya belanja infrastruktur, maka wajar jika pemerintah tidak menambah utang dalam jumlah besar. Namun, pengabaian akan infrastruktur sangat merugikan Indonesia saat ini.
Di sisi lain, pemerintah Jokowi-JK mewarisi situasi kurang menguntungkan serta menghadapi kondisi ekonomi global yang melemah. Warisan-warisan yang kurang menguntungkan diantaranya: (1) tertinggalnya infrastruktur Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga; (2) tingginya angka kemiskinan dan pengangguran; (3) melebarnya kesenjangan antar wilayah serta antar penduduk kaya dan miskin; (4) menurunnya produktivitas pertanian; (5) tidak jalannya hilirisasi industri; (6) peningkatan signifikan penguasaan asing atas sumberdaya ekonomi terutama di sektor pertambangan; dan (7) banyaknya daerah otonom yang tidak mandiri dimana sebagian besar kabupaten di Indonesia memiliki PAD hanya berkisar 3-5 persen.
Warisan masalah-masalah ini, bila dibiarkan akan mengancam keutuhan NKRI. Oleh sebab itu, upaya pemerintah Jokowi-JK mengatasinya lewat berbagai program, seperti percepatan pembangunan infrastruktur, program kemiskinan, serta dana desa, perlu diapresiasi.
Dari aspek infrastruktur, dalam 1 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK telah banyak jalan, bendungan, pembangkit listrik serta infrastruktur lainnya yang dibangun. Ini merupakan rekor pembangunan infrastruktur dalam 1 tahun pemerintahan dalam sejarah Indonesia, namun kurang terpublikasi.
Program-program ini membutuhkan dana yang besar. Sayangnya, pada saat bersamaan, pertumbuhan pendapatan pemerintah melemah sebagai dampak perlambatan ekonomi nasional dan global.
Ini menimbulkan kesenjangan antara pendapatan dan belanja pemerintah. Untuk menutup kesenjangan tersebut maka utang merupakan jalan keluarnya.
Sepanjang dapat dikelola dengan baik dan dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan-kegiatan produktif lainnya, maka utang tersebut tidak perlu dikhawatirkan.
Dengan kata lain, persoalan utang tidak bisa dilihat secara parsial, melainkan harus dikaji juga hasil dari pemanfaatan utang tersebut. Hal ini membutuhkan pengawasan yang ketat atas penggunaan dana utang.
Penulis : Agus Tony Poputra, Staf Pengajar Universitas Sam Ratulangi Manado