Revisi Aturan DNI Yang Kebablasan Melukai Nasionalisme dan Melenceng Dari Nawacita
Pemerintah telah mengeluarkan revisi aturan Daftar Investasi Negatif (DNI). Intinya adalah mengizinkan pertambahan persentase pemilikan asing dalam berbagai jenis usaha. Namun, pada beberapa jenis bisnis yang menerima relaksasi tersebut tampak kebablasan dan mengancam ekonomi kerakyatan.
Meski diakui, Indonesia butuh investasi asing untuk mempercepat pembangunan. Namun, pemberian “keistimewaan” kepada investor asing secara kebablasan justru melukai nasionalisme dan menjauhkan Indonesia dari kemandirian ekonomi yang menjadi nafas Nawa Cita. Ke depan, Indonesia akan semakin terjajah secara ekonomi dan semakin banyak anak bangsa yang menjadi budak asing di negeri sendiri.
Kondisi ini disebabkan investasi asing juga memiliki berbagai konsekuensi negatif. Pertama, investasi asing akan mengutamakan bahan baku impor terutama dari negara asalnya sehingga terjadi aliran dana ke luar negeri dan nilai tambah domestik yang tidak besar. Sebagai contoh, susahnya pemerintah membujuk Freeport untuk menggunakan produk dalam negeri.
Kedua, bila investasi asing memanfaatkan Indonesia sebagai pasar produknya, maka di masa mendatang semakin banyak uang yang mengalir keluar dari Indonesia dalam bentuk dividen, royalty, dan sebagainya, di luar bahan baku. Ini akan mempengaruhi likuiditas perbankan serta cadangan devisa dalam negeri ke depan.
Ketiga, bila investasi asing berorientasi ekspor, ini juga tidak terlalu memberikan dampak positif yang besar terhadap likuiditas perbankan serta cadangan devisa dalam negeri. Saat ini saja hanya sebagian kecil hasil ekspor yang masuk ke dalam perbankan domestik karena ditahan di luar negeri terutama di negara asal investor.
Keempat, investasi asing umumnya banyak memberikan kompensasi bagi pekerja asing jauh lebih besar dibanding pekerja lokal pada jabatan atau beban kerja yang setara. Akibatnya tenaga kerja lokal menghadapi ketidakadilan kompensasi dan uang kompensasi itu akan megalir ke negara asal pekerja asing.
Kelima, konsekuensi yang paling dikhawatirkan adalah apabila investor asing semakin dominan, maka mereka dapat menyandera kebijakan pemerintah. Tindakan tersebut dalam bentuk boikot berproduksi, melakukan tuntutan ke lembaga arbitrase internasional, ataupun mempermainkan nilai Rupiah. Tarik ulur penyelesaian Freeport merupakan contoh tersenderanya kebijakan pemerintah oleh sebuah korporasi asing.
Sementara itu, dengan adanya konsekuensi negatif dari investasi asing, maka investasi asing yang diberikan keistimewaan, haruslah memberikan benefit jauh lebih besar dari konsekuensi tersebut.
Adapun penambahan porsi kepemilikan asing dalam suatu bisnis yang merupakan salah satu bentuk keistimewaan, perlu didasarkan pada kriteria yang semestinya; (1) investasi memiliki nilai strategis untuk mempercepat pembangunan, seperti infrastruktur; (2) membutuhkan dana yang besar atau menggunakan teknologi yang belum mampu disediakan dalam negeri; (3) apabila terdapat alih teknologi; (4) menciptakan lapangan kerja yang luas; dan (5) banyak menggunakan bahan baku dalam negeri.
Bila kriteria ini digunakan untuk menilai hasil revisi Daftar Negatif Investasi (DNI), terdapat beberapa jenis investasi yang tidak pantas diberikan porsi pemilikan yang semakin besar, terutama restoran dan kafe.
Di bisnis ini, izin diberikan 100% kepemilikan asing walau bukan investasi strategis yang dibutuhkan bangsa ini.
Walaupun ada batas minimal investasi untuk restoran dan kafe, namun harga jual produknya tidak akan berbeda jauh dengan yang dijual Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Ditambah kebiasaan sebagian masyarakat yang lebih mencintai produk asing, maka jasa penyediaan makanan UKM domestik akan tergusur.
Situasi seperti ini sudah dialami warung/toko kecil di daerah yang tergusur oleh ekspansi dua ritel nasional. Bila kegiatan jasa penyediaan makanan tergusur, maka akan menggoyang sendi-sendi UKM sebab jenis usaha ini cukup dominan dalam struktur UKM Indonesia.
Adapun pembuat revisi DNI dapat berkilah bahwa ada batas minimal dari usaha yang mendapat keistimewaan tersebut. Namun dengan berlalunya waktu, maka nilai dari batas minimal tersebut akan turun (konsep nilai waktu dari uang). Ini akan mendorong semakin banyak investasi asing yang masuk ke jenis usaha ini.
Selain itu, pemberian porsi kepemilikan asing yang semakin besar dapat menghilangkan peluang alih teknologi. Apa yang terjadi pada industri otomotif Indonesia dapat dijadikan contoh.
Sementara itu, relaksasi terhadap pemilikan asing dalam revisi aturan DNI bisa menimbulkan persoalan yang makin pelik di masa depan apabila dikaitkan dengan izin pemilikan asing atas lahan. Bila hal tersebut terjadi di daerah perbatasan, maka potensi pertikaian perbatasan negara akan semakin besar. Pemerintah perlu bercermin pada kasus Sipadan-Ligitan dan ketegangan Laut China Selatan oleh pulau buatan China.
Kuncinya, dalam pembuatan kebijakan, pemerintah jangan hanya terpaku pada kepentingan jangka pendek tetapi juga mempertimbangkan kepentingan jangka panjang. Di masa depan Indonesia akan menghadapi kondisi global yang semakin kompleks, maka jangan makin dipersulit dengan kebijakan yang keliru saat ini.
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom Universitas Sam Ratulangi Manado