Kasus Brexit, Pelajaran Berharga Untuk MEA
Tanggal 24 Juni 2016 menjadi salah satu hari bersejarah bagi Inggris dan Uni Eropa (UE). Lewat referendum, 51,9% pemilih di Inggris memutuskan negara tersebut meninggalkan UE dimana dikenal sebagai Britain Exit (Brexit).
Keputusan tersebut bukanlah hal yang mudah karena banyak kebijakan pemerintah Inggris telah terbelenggu dengan keikutsertaan mereka dalam UE. Inggris diperkirakan akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri kembali sebagai negara “berdaulat.”
Hal ini dirasakan oleh Perdana Menteri David Cameron yang langsung mengumumkan pengunduran. Masalah yang dihadapi Inggris tidak sekedar itu, untuk keluar dari UE perlu waktu negosiasi 2 tahun bahkan lebih setelah mengaktifkan Pasal 50 Traktat Lisabon.
Ini membuat perekonomian dan politik Inggris menghadapi masa transisi yang panjang dan rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menghukum Inggris maupun para spekulator yang memanfaatkan kondisi ketidakpastian ini.
Keikutsertaan Inggris dalam Uni Eropa bukanlah tanpa berliku. Pada tahun 1975 (baru 2 tahun begabung), Inggris telah melakukan referendum untuk memutuskan tetap di UE atau keluar dimana hasilnya kala itu Inggris tetap di UE. Saat ini situasinya telah berubah, referendum telah memenangkan kelompok Brexit.
Fenomena ini kemungkinan tidak dialami Inggris semata, kelompok-kelompok tertentu di Prancis, Belanda, dan beberapa negara lain dalam UE telah menggulirkan isu untuk mengikuti langkah Inggris.
Hal ini mengindikasikan penyatuan ekonomi seperti itu, selain membawa manfaat sekaligus memberikan mudharat yang besar juga. Mudharat yang menjadi alasan Inggris keluar dari UE adalah: (1) negara tersebut merasa dikendalikan oleh Uni Eropa, baik dalam kebijakan ekonomi dan politik; (2) persoalan imigran yang masuk ke Inggris dimana sulit dibendung karena kesepakatan dalam UE; dan (3) iuran keanggotaan yang terlalu besar.
Bercermin dari Brexit, bergabungnya Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) perlu dicermati lebih lanjut agar tidak mengulang pengalaman Brexit.
Pada UE, Jerman sebagai negara dengan perekonomian terbesar di blok tersebut menjadi negara yang paling dominan dalam kebijakan ekonomi dan politik. Namun kondisi berbeda kemungkinan terjadi dalam MEA. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar dalam MEA, tidak serta merta Indonesia akan dominan menentukan kebijakan blok kerjasama ini.
Faktor mengganjal diantaranya: (1) Indonesia masih berkutat dengan angka kemiskinan yang tinggi; (2) kebijakan ekonomi yang tidak konsisten; dan (3) banyaknya gaduh politik untuk hal yang tidak substansial serta menonjolkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Apabila dikaitkan dengan MEA+3 yang melibatkan China, Jepang, dan Korea Selatan, maka China berpotensi dominan dalam kebijakan MEA+3.
MEA sendiri pada dasarnya merupakan penyatuan ekonomi yang sangat rapuh atau mudah pecah. Faktor penyebabnya antara lain: (1) banyak negara di ASEAN memiliki konflik perbatasan satu dengan lainnya dan sering saling mengganggu; (2) perbedaan kondisi ekonomi yang sangat kontras; (3) perbedaan sistem politik yang cukup signifikan; (4) angka kemiskinan yang tinggi pada sebagian besar negara anggota.
Oleh sebab itu, MEA sebaiknya tidak perlu ditingkatkan derajat kerjasamanya seperti UE sebab akan menimbulkan banyak mudharat ketimbang manfaat bagi negara anggota yang tidak dominan dalam kebijakan MEA.
Indonesia perlu memperjuangkan pasal perjanjian yang memuat pengunduran diri mudah (soft exit) apabila ada negara anggota MEA yang mundur. Ini didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia berpotensi akan munduru di masa depan.
Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Indonesia akan dirugikan dalam MEA terutama dengan bebasnya tenaga trampil melakukan mobilasi antar negara di ASEAN.
Indonesia sebagai negara dengan banyak tenaga kerja tidak trampil tentunya sulit memanfaatkan peluang tersebut, bahkan menjadi pasar tenaga trampil dari negara lain. Selain itu, tenaga kerja trampil Indonesia sulit masuk ke negara ASEAN lainnya. Negara-negara tersebut memiliki banyak tenaga kerja trampil dengan lapangan kerja yang terbatas sehingga akan melakukan berbagai cara untuk mendahulukan tenaga kerja mereka sendiri.
Inilah tantangan yang perlu menjadi bahan pemikiran para pemimpin bangsa Indonesia, dalam mengejar kesejahteraan rakyat tanpa mengorbankan kedaulatan ekonomi dan politik.***
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom Universitas Sam Ratulangi Manado