Memasuki Dekade Kedua Setelah Perdamaian Aceh, Bagaimana Nasib Perempuan Aceh?
Jakartakita.com – Perdamaian Aceh yang ditandai dengan kesepakatan damai Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005 telah memasuki dekade kedua. Capaian yang cukup signifikan dalam dekade kedua perdamaian Aceh ini adalah terpilihnya 7 Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh pada bulan Juli 2016.
Capaian ini setidaknya memperlihatkan langkah maju dalam upaya mendorong pemenuhan hak korban pelanggaran HAM, di tengah berbagai tantangan yang masih terus dihadapi korban dan keluarganya dalam mendapatkan hak-hak mereka atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan atas ketidakberulangan.
Namun demikian, langkah maju ini akan rentan kembali berjalan mundur jika tidak ada upaya untuk memastikan kelembagaan KKR Aceh segera terbentuk dan 7 komisioner terpilih dapat segera menjalankan tugasnya. Termasuk dalam hal ini penempatan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013) dalam relasinya dengan Badan Reintegrasi Aceh (Qanun Aceh No. 6 Tahun 2013) serta memastikan dukungan pemerintah pusat terhadap bekerjanya KKR Aceh.
Momentum Pemilukada 2017 perlu dijadikan peluang oleh organisasi masyarakat sipil untuk mendorong pengintegrasian isu KKR Aceh dalam visi misi setiap pasangan calon kepala daerah (di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota), sebagai bagian dari upaya memastikan agenda KKR akan terlaksana paska pergantian kepala daerah.
Saat ini KKR Aceh satu-satunya peluang bagi korban dan keluarganya untuk mengupayakan pemenuhan hak-hak mereka. Jika KKR tidak berjalan, akan sulit membangun kembali kepercayaan korban terhadap upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh, karenanya isu KKR Aceh tidak boleh tenggelam dalam kemeriahan isu Pemilukada, namun turut mewarnai keseluruhan agenda Pemilukada.
Capaian lain yang patut diapresiasi adalah, ditindaklanjutinya salah satu ketentuan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2009 Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan (dalam hal ini Peraturan Gubernur Aceh No. 49 Tahun 2016 tentang Pemberian ASI Ekslusif), setelah lebih dari 5 tahun qanun tersebut diberlakukan.
Meski baru satu peraturan gubernur yang dikeluarkan untuk menindaklanjuti Qanun Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan itupun untuk pengaturan yang sangat terbatas, namun inisiatif ini tetap patut dihargai, mengingat Qanun No. 6 Tahun 2009 Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan Aceh ini, hampir tidak pernah menjadi rujukan dalam pembuatan kebijakan terkait perempuan, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Padahal Qanun No. 6 Tahun 2009 ini adalah satu-satunya regulasi di Aceh yang kondusif dan komprehensif mengatur dan melindungi hak-hak perempuan.
Momentum peringatan 11 tahun perdamaian Aceh tahun ini bersamaan dengan momentum 10 tahun pemberlakuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Momentum ini seharusnya digunakan Pemerintah Aceh untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut, terutama pada tanggungjawab negara dalam memajukan, menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia seluruh rakyat Aceh, agar tidak semakin berjalan mundur dari cita-cita perdamaian.
Aceh telah dilengkapi dengan berbagai peraturan dan kelembagaan yang memungkinkan pencapaian masyarakat yang sejahtera dan demokratis, namun berkembangnya sikap intoleransi, kekerasan dan diskriminasi sebagai bagian dari pertarungan kuasa, tata kelola pemerintahan dan dalam kehidupan sehari-hari, telah menghambat akses masyarakat terhadap pemenuhan hak konstitusionalnya. Perempuan, anak dan kelompok minoritas adalah yang terutama dirugikan dalam hal ini.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok masyarakat tertentu, baik atas dasar agama, keyakinan maupun gender, hingga saat ini masih berlangsung di Aceh. Hak konstitusional untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan, untuk dilindungi dari perlakuan kekerasan dan diskriminasi, dan untuk berekspresi adalah hak yang paling sering dilanggar. Perempuan dan kelompok minoritas masih menghadapi sejumlah hambatan dalam mengakses pemenuhan hak konstitusionalnya, bahkan saat mereka menjadi korban kekerasan sekalipun.
Komnas Perempuan juga mencatat, hingga saat ini belum ada mekanisme yang memudahkan perempuan korban konflik terutama korban kekerasan seksual mengakses program-program kesejahteraan rakyat. Praktik diskriminasi yang dibiarkan semakin memperparah kondisi kemiskinan yang dihadapi korban.
Dibutuhkan sebuah mekanisme yang dapat mengenali kerentanan dan kebutuhan perempuan korban kekerasan, terutama kekerasan seksual dalam seluruh dimensi persoalan kekerasan terhadap perempuan, serta mekanisme yang dapat mengevaluasi kemajuan dan tantangan pemenuhan HAM perempuan di Aceh secara berkala. Otonomi khusus yang dimiliki Aceh serta komitmen pemerintah yang telah dinyatakan dalam UU Pemerintahan Aceh, adalah modal utama yang dapat digunakan untuk mewujudkan gagasan ini.
Memperingati 11 Tahun Perdamaian Aceh dan 10 tahun pemberlakuan UU Pemerintahan Aceh, Komnas Perempuan merekomendasikan Pemerintah Aceh untuk:
– Menyusun langkah-langkah konkrit dan terukur untuk pelaksanaan agenda KKR Aceh, termasuk dalam ini memastikan pembentukan kelembagaan KKR Aceh, menetapkan 7 Komisioner KKR terpilih agar segera menjalankan tugasnya, dan membangun komunikasi dengan Pemerintah Pusat terkait dukungan terhadap bekerjanya KKR Aceh;
– Mengevaluasi jurang implementasi amanat Konstitusi, UU dan Qanun dalam pemajuan, penegakan, perlindungan dan pemenuhan HAM, khususnya terkait penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya;
– Menggunakan seluruh perangkat kebijakan nasional maupun daerah untuk mengembangkan mekanisme pemenuhan HAM perempuan, khususnya perempuan korban kekerasan selama masa konflik dan paska konflik, termasuk menyusun rencana aksi daerah untuk ini;
– Melaksanakan mekanisme pembatalan secara berjenjang terhadap sejumlah kebijakan yang tidak sejalan dengan ketentuan pasal 231 UU No. 11 Tahun 2006 dan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2009, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 249 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.