Tren Mal Sepi Dinilai Bukan Karena Turunnya Daya Beli Masyarakat
Jakartakita.com – Pengembang Apartemen Green Pramuka menilai, tren sepinya sejumlah mal di Jakarta sebetulnya bukan karena turunnya daya beli masyarakat tetapi akibat strategi pengembang properti yang ketinggalan jaman.
“Kami sudah melihat itu sejak delapan tahun yang lalu. Saat itu, pada tahun 2010 jumlah pusat perbelanjaan (mal) yang ada di Jakarta mencapai 170 lebih atau setara lahan seluas 4 juta meter persegi. Melebihi batas ideal mal dan jumlah penduduk,” ujar Jeffry Yamin, Marketing Director Green Pramuka City, dalam siaran pers yang diterima Jakartakita.com, Selasa, (19/09/2017).
Repotnya, lanjut Jeffry, kawan-kawan pengembang justru terus membangun mal. Padahal, saat itu pemerintah DKI bahkan sampai mengeluarkan pembatasan pembangunan mal dengan mengeluarkan instruksi Gubernur pada 12 Oktober 2011 namun pembangunan mal baru terus berjalan.
Ditambahkan, potensi pengembangan mal saat itu disebabkan karena kecenderungan masyarakat Jakarta yang kerap menjadikan pusat perbelanjaan (mal) sebagai obat depresi dan stres. Bahkan ada data rata-rata orang Jakarta, mayoritas perempuan, menghabiskan sekitar tiga jam setiap kali mengunjungi mall.
Dengan kondisi tersebut, pembangunan pusat perbelanjaan terus berjalan. Sampai tahun 2013 terdapat 564 pusat perbelanjaan di Jakarta dengan jumlah terbanyak terdapat di area CBD (Central Business District).
“Sayangnya, para pengembang mengabaikan tren yang sedang terjadi pada masyarakat yang tinggal di megapolitan di negara-negara lain. Itu kalau Anda buka data, di negara Amerika Serikat sejak tahun 2010 sejumlah mal raksasa mulai sepi, beberapa malah tutup,” tutur Jeffry.
Mengutip data Green Street Advisors, lembaga pemantau industri pusat perbelanjaan, sejak tahun 2010 sedikitnya ada 30 mal di penjuru Amerika Serikat yang terpaksa ditutup dan 60 mal yang mulai sepi pengunjung.
Menurut Jeffry, saat itu di Amerika Serikat para pengembang mal ramai-ramai menuding belanja daring (online shopping) sebagai biang keladi sepinya mal. Namun tidak disadari, hal itu terjadi karena jumlah mal yang terlalu banyak dan perubahan gaya hidup masyarakat kota besar.
“Masyarakat kota besar cenderung ingin praktis dan lebih gemar menyisihkan uang mereka untuk kesehatan atau menghibur diri dengan olahraga dan piknik. Itu sebabnya sejak awal dibangun Green Pramuka langsung menerapkan konsep one stop living,” paparnya.
Dengan konsep one stop living maka penghuni tidak perlu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menuju lokasi pusat belanja dengan berkendara mengarungi kemacetan Ibu Kota.
Menurut Jeffry, konsep ini sebetulnya sudah terjadi di Jakarta sejak era 1990-an dimana terjadi integrasi antara apartemen dan mal (mixed use building) yang memadukan hunian dengan sarana hiburan, bisnis, dan lifestyle.
Bahkan, seiring dengan perhatian pemerintah Presiden Joko Widodo terhadap pengembangan infrastruktur, kini tengah diwujudkan konsep kawasan terpadu tempat tinggal, pusat bisnis yang terintegrasi dengan titik-titik transportasi massal.
“Itu juga yang membuat Green Pramuka mendukung adanya shelter transportasi massal bagi penghuni mulai dari bis Damri yang langsung menuju Bandara Soekarno Hatta hingga shelter layanan kendaraan online. Dengan cara ini, penghuni dipermudah, kemacetan berkurang dan masyarakat lebiih produktif ,” tandas Jeffry.