Pembangunan Infrastruktur Saat Ini Bukan Kemewahan Tapi Suatu Keharusan
Jakartakita.com – Saat ini para elit politik Indonesia sedang menggoreng isu pembangunan infrastruktur dan utang yang ditimbulkankannya. Namun persoalan sesungguhnya bukanlah pembangunan infrastruktur tersebut, melainkan ketertinggalan infrastruktur Indonesia sejak Orde Reformasi bergulir.
Demikian diungkapkan Agus Tony Poputra, Dosen Universitas Sam Ratulangi Manado dalam siaran pers yang diterima Jakartakita.com, Sabtu (02/12/2017).
Oleh sebab itu, jelas Agus, pembangunan infrastruktur yang dikebut pemerintah saat ini bukanlah suatu kemewahan akan tetapi suatu keharusan agar Indonesia tidak semakin tertinggal.
Sebagai pembanding, Vietnam yang sebelumnya ‘terbelakang’ relatif telah menyalip Indonesia dalam infrastruktur dan menjadi salah satu negara yang berkembang pesat di ASEAN.
Menurut Agus, pembangunan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan yang parah memiliki konsekuensi anggaran yang sangat besar.
Tentu saja pembiayaannya tidak mampu dibiayai semata-mata lewat pendapatan negara sehingga utang menjadi alternatifnya. Hingga September 2017, posisi utang Pemerintah Indonesia mencapai angka Rp 3.866,45 triliun.
“Walaupun angkanya relatif besar, namun penggunaan utang untuk kegiatan produktif seperti ini seharusnya dapat diterima sebab multiplier effect dari infrastruktur dapat membantu pengembalian utang tersebut di masa depan. Sebaliknya, utang akan menjadi persoalan besar di kemudian hari jika utang tersebut digunakan untuk konsumtif ataupun sekedar dikorupsi,” terang Agus.
Ditambahkan, hal yang menggelitik lainnya adalah tentang pembukaan lapangan kerja dari kegiatan pembangunan infrastruktur.
Tak dapat disangkal bahwa lapangan kerja dari kegiatan pembangunan infrastruktur saat ini tidak terlalu besar. Namun hal tersebut merupakan keniscayaan sebab sulit mempercepat pembangunan infrastruktur besar hanya mengandalkan teknologi padat karya. Ini akan mengkonsumsi waktu yang sangat panjang.
Menurut Agus, pada dasarnya, pembukaan lapangan kerja yang besar diharapkan terjadi saat infrastruktur selesai dibangun dimana dapat mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu, sesuai sifatnya pekerjaan di bidang pembangunan infrastruktur bersifat sementara sehingga tidak tersedia jaminan pekerjaan dalam jangka panjang bagi masyarakat.
Lebih lanjut dikatakan, untuk mengimbangi kurangnya penciptaan lapangan kerja dari pembangunan infrastruktur besar, pemerintah lewat regulasi perlu menata pemanfaatan Dana Desa. Porsi terbesarnya hingga tiga tahun ke depan sebaiknya diarahkan untuk pembangunan infrastruktur pedesaan yang berbasis padat karya.
Dengan demikian, kata Agus, masyarakat pedesaan dapat memperoleh pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya beli yang nantinya mendorong perekonomian secara keseluruhan.
“Dampak ketersediaan infrastruktur tidak seperti memakan cabe yang langsung terasa pedasnya. Umumnya terdapat jeda waktu antara selesainya pembangunan infrastruktur dengan pemanfaatan ekonomis yang signifikan terutama di daerah-daerah yang ekonominya belum berkembang baik. Jeda waktu tersebut tentu saja menimbulkan opportunity cost,” tutur Agus.
Dia melanjutkan, dalam rangka mengurangi jeda waktu, maka persiapan pembangunan infrastruktur diselaraskan dengan kegiatan ekonomi yang akan dikembangkan dengan keberadaan infrastruktur tersebut.
Sebagai contoh: saat perencanaan pembangunan bendungan, perlu direncanakan juga berapa hektar sawah yang akan dicetak saat bendungan selesai.
Pada tahun terakhir pembangunan bendungan, sudah ditata program pencetakan sawah. Dengan demikian, multiplier effect dari bendungan menjadi maksimum dan opportunity cost menjadi minimum.
Lebih lanjut Agus mengungkapkan, untuk mengurangi laju pertambahan utang yang disebabkan oleh pembangunan infrastruktur, maka penetapan prioritas infrastruktur yang dibangun perlu dilakukan tanpa mengabaikan keadilan antar wilayah. Selain itu, untuk meminimalisasi pembangunan infrastruktur yang mubazir maka perlu ‘Strategi Keroyokan’ antar kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan swasta pada wilayah target.
“Ini akan memperbesar dan mempercepat multiplier effect bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat,” tandas Agus.