INDEF : Impor Pangan Masih Tinggi, Bukti Sektor Pertanian Tak Terurus
Jakartakita.com – Tingginya ketergantungan impor untuk kebutuhan pangan saat ini dinilai menunjukkan sektor pertanian tak terurus.
Adapun upaya menjaga stabilitas harga pangan lebih didominasi kebijakan importasi dibandingkan implementasi strategi pembangunan pertanian menuju bangsa mandiri.
Demikian benang merah diskusi yang digelar di kantor Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Jakarta Selatan, Rabu (18/4/2018).
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati mengungkapkan, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) sebanyak 60% bahan baku industri makanan dan minuman merupakan impor.
Ditambahkan, meski neraca perdagangan sektor pertanian di 2017 mengalami surplus, namun sebagian besar sektor mengalami defisit.
“Artinya, untuk sektor-sektor pangan hortikultura dan peternakan, ini kan semua pangan, semua mengalami ketergantungan impor,” tegas Enny.
Lebih lanjut Enny mengatakan, dengan impor pangan yang cukup signifikan ini, menunjukan Indonesia sulit meraih kemandirian sektor pangan.
“Entah kapan cita-cita kemandirian pangan bisa direalisasikan,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto menyebutkan, dengan kondisi sekitar 60% kebutuhan bahan baku untuk industri makanan dipenuhi dari impor, hal ini menandakan jika sektor pangan Indonesia bukannya semakin menuju kemandirian justru malah semakin bergantung impor.
“Selama 10 tahun terakhir impor produk pertanian itu hampir 50% dari kebutuhan. 2007 impor sayur dan buah-buahan dibuka. Pada saat itu juga neraca dagang kita selalu negatif. Jadi sangat jauh sekali rata-rata pertumbuhan ekspor dan impor,” kata Eko
Menurut Eko, masih tingginya kebutuhan impor mencerminkan sektor pertanian di dalam negeri belum cukup terurus.
“Pertanian enggak keurus, padahal luas lahan pertanian di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan luas lahan di Thailand. Namun, Thailand berhasil menjadi salah satu negara eksportir beras terbesar di dunia,” tegasnya.
Lebih lanjut, Eko meminta agar pemerintah bisa mengatasi permasalahan importasi ini. Sebab, jika kebijakan impor pangan ini tidak diminimalkan maka kemandirian pangan sulit untuk direalisasikan.