Take a fresh look at your lifestyle.

Pertunjukan ‘Jejak Asa Sang Dewi’ Part 3 Pukau Generasi Milenial

Penonton anak-anak muda tersebut, datang dari berbagai komunitas penggiat seni di Jawa Tengah, dan Yogyakarta

0 1,902

Tiket Pesawat Murah Airy

foto : istimewa

Jakartakita.comPenciptaan laksana arus air yang jernih dan bening, tempat cahaya sifat-sifat Yang Maha Mulia menggenang. Meski arus air mengalir sepanjang waktu, citra dan bintang kan tetap bertahan selalu. Kurun demi kurun, masa demi masa, bergerak melintas, hanya saja pemandangan abadi tiada pernah berubah.

Inilah semesta karya seorang seniman tari, Dewi Sulastri, dalam ungkapan Rumi.

Bersama tim kesenian Sanggar Swargaloka Jakarta, ia baru saja menuntaskan karya gemilang ‘Jejak Asa Sang Dewi’ (JASD) Part 3, di Teater Besar – Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta, Sabtu lalu (21/04/2018).

Drama tari ‘Jejak Asa Sang Dewi’ (JASD) ini, menjadi kesatuan gagasan yang dituangkan dalam tiga bagian; satu tema, yang saling terhubung.

Pergelaran bertajuk serupa sebelumnya pernah dua kali dipentaskan, di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Minggu 19 Juni 2011, dan Jum’at, 28 Juni 2013.

“Kami bersyukur, dan menjadi satu kebahagiaan karena pertunjukan ini mampu menyedot animo penonton. Alhamdulillah, lebih dari 700 penonton yang sebagian besar adalah anak-anak muda,” ujar pendiri Sanggar Swargaloka, Suryandoro dalam siaran pers yang diterima Jakartakita.com, Rabu (25/4/2018).

foto : istimewa

Penonton anak-anak muda tersebut, terang Suryandoro, datang dari berbagai komunitas penggiat seni di Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Termasuk para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, antara lain, dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Universitas Negeri Solo (UNS), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan dari Universitas Negeri Semarang (UNES).

Bagi Dewi Sulastri, karya ini memiliki makna tersendiri. Setidaknya pada ‘Jejak Asa Sang Dewi’ Part 3 ini, Dewi mendapat limpahan energi tampil sinerji dengan kedua putra putrinya yang beranjak dewasa, Bathara Saverigadi Dewandoro, dan Bathari Putri.

Filosofi gerak menjadi paling esensi atas perjuangan Dewi, sebagai sebuah proses yang terus mengalami perubahan, pergerakan, dan pembaharuan, tanpa henti.

Eko Supriyanto, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, mengapresiasi pergelaran ini.

Related Posts
1 daripada 5,618

Ia membandingkan JASD dengan seni garapan sang maestro tari Jawa klasik, Theodora Retno Maruti, dan Elly D. Luthan, pada umumnya.

“Setidaknya dalam menyikapi vokabuler; berbagai idiom tari Jawa yang dikembangkan JSAD, punya keunggulan dalam hal membidik selera anak muda millenials,” ujar seniman tari yang pernah berkolaborasi dengan artis Amerika, ratu pop Madonna Louise Ciccone ini, usai menyaksikan pergeleran.

Dalam membina penonton, Eko menyarankan, agar dicari terus perpaduan antara selera muda dan selera tua sampai ketemu dititik tertentu.

“Agar yang berselera tua pun tertarik dengan gaya kontemporer tradisi kita. Saya mengucapkan selamat dan sukses buat pertunjukan ini,” ujarnya.

Ikut menyaksikan pergelaran ini, antara lain Kepala Dinas Kebudayaan Surakarta, Rektor ISI Surakarta, Dekan Seni Pertunjukan ISI Surakarta, Dr. Sugeng Nugroho, Ketua Jurusan Tari ISI Yogyakarta, Priyati, SST, Ketua Pengampu Mata Kuliah Bugar Seni, Universitas Trilogi Oetari Noorpermadi, dan Dekan Fakultas Seni Rupa UNS.

JSAD melibatkan tak kurang dari 150 orang seniman panggung, pengrawit, penari dan penyanyi.

Dewi Sulastri tampil berkolaborasi dengan kedua anaknya, Bathara Saverigadi Dewandoro, dan Bathari Putri. Penampilan ketiganya diperkuat aktor panggung Ali Marsudi, dan Denta Sepdwiansyah, serta ratusan penari binaan Sanggar Swargaloka.

foto : istimewa

Selain pelakon, Bathara Saverigadi Dewandoro, juga bertindak sebagai Sutradara, Penata Tari dan Penulis Cerita. Penata Artis Irwan Riyadi, Penata Kostum Yani Wulandari, Produser Suryandoro, dan Pimpinan Produksi Fajar Darmanto.

JSAD juga didukung Dedek Wahyudi dan Gregorian Christ sebagai komposer, dengan iringan musik Dedek Gamelan Orchestra.

JSAD adalah refleksi dan gagasan dari beragam pengalaman berkesenian Dewi Sulastri selama bertahun-tahun. Diawali dari kesadarannya berkesenian sejak belajar nembang (menyanyi) ketika duduk di bangku pelajar kelas lima Sekolah Dasar (SD), di tanah kelahirannya Jepara.

Antusiasme ini lalu dikembangkannya hingga tingkatan studi berikutnya, yaitu; di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Negeri Surakarta Jurusan Tari, dan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.   (Edi Triyono)

Tinggalkan komen