Jakartakita.com – Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR, ternyata pada klaster energi minyak dan gas bumi substansinya berpotensi mendegradasi eksistensi kedaulatan negara terhadap pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi, serta berpeluang mempertahankan status quo pengusahaan minyak dan gas bumi oleh Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Hal tersebut disampaikan Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) dalam sesi webinar via Zoom Video dengan tema “Pengelolaan Migas Konstitusional dalam Lingkup RUU Omnibus Law,” Jumat (15/5).
“Dalam draft RUU Cipta Kerja pada Pasal 41A Ayat (2) memberikan kewenangan bagi pemerintah pusat untuk membentuk atau menugaskan BUMN Khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu migas,” ucap Marwan.
“Jika nantinya RUU tersebut disahkan dan kemudian Pemerintah membentuk BUMN Khusus, maka itu pertanda bentuk inkonsistensi pemerintah dalam mendukung peran BUMN Migas eksisting yaitu PT Pertamina (Persero). Pemerintah akan semakin ugal-ugalan dalam pengelolaan migas nasional jika RUU Cipta Kerja ini diberlakukan. Sebab ada peluang bagi pemerintah untuk meniadakan peran Pertamina guna lebih jauh mengelola sumber daya alam, khususnya sektor energi. Padahal Pertamina sudah sangat terbukti mampu mengelola migas dari hulu hingga hilir,” terang Marwan.
Lebih lanjut, dia menilai, tidak perlu Pemerintah membentuk BUMN Khusus sektor migas untuk mengurusi dan mengelola energi nasional.
Menurutnya, Pemerintah hanya perlu meningkatkan status Pertamina sebagai BUMN Khusus yang memang dimandatkan untuk menjadi single operator dalam pengelolaannya. Dengan begitu, Pemerintah benar-benar menunjukkan komitmennya untuk membuat Pertamina sebagai perusahaan kelas dunia.
“Sejauh ini pemerintah sebenarnya sudah melangkah cukup baik dengan membentuk holding migas di bawah kendali Pertamina. Karena itu, akan lebih relevan dan optimal jika holding tersebut disempurnakan dengan mengintegrasikan satu BUMN baru (yang mungkin nanti dibentuk) ke dalam holding migas, sehingga Pertamina tetap menjadi leading company. Sesuai Pasal 33 UUD 1945, negara harus berdaulat atas SDA Migas.
“Mengingat pentingnya aspek pengelolaan eksploitasi SDA Migas nasional, maka badan usaha yang berperan melakukannya sangat penting diatur secara tegas dan terukur dalam RUU Cipta Kerja dan RUU Migas baru. Skema pengelolaan melalui BHMN dalam UU No.22/2001 harus diakhiri. Tidak ada alternatif lain, seperti telah diatur dalam UU No.8/1971, lembaga pengeloala tersebut harus ditetapkan sesuai konstitusi, yaitu berbentuk BUMN,” paparnya.
Di kesempatan yang sama, Juajir Sumardi selaku Guru Besar Universitas Hassanudin Makassar mengatakan, substansi RUU Cipta Kerja klaster migas berpotensi mendegradasi eksistensi kedaulatan negara terhadap pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi, serta berpeluang mempertahankan status quo pengusahaan minyak dan gas bumi oleh SKK Migas.
“Jika Pemerintah Pusat tetap mempertahankan status quo SKK Migas sebagai pihak yang mewakili Pemerintah Pusat dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, berdasarkan pada Pasal 41A Ayat (2) dan Pasal 64A Ayat (1) RUU Cipta Kerja Klaster Energi Minyak dan Gas Bumi, maka dapat dipastikan bahwa RUU Cipta Kerja telah mendegradasi hakikat kedaulatan negara terhadap pengelolaan sumber daya alam sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945, dan juga tidak memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 36/PUU-X/2012,” paparnya.
Untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap UUD-1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, serta memenuhi syarat efisiensi dan efektivitas dalam pengusahaan hulu minyak dan gas bumi, Juajir menyarankan, Pemerintah Pusat menetapkan dan meningkatkan status hukum PT. (Persero) Pertamina menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
“Pertimbangan saya adalah, Pertamina telah memiliki aset, jaringan, teknologi, dan sumberdaya manusia yang berpengalaman panjang sehingga pemerintah pusat tidak harus menguras APBN untuk pendirian BUMN Khus baru. Pemerintah Pusat tinggal melakukan restrukturisasi organisasi dan manajemen organsisasi yang berbasis pada prinsip good corporate governance,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Komaidi Notonegoro selaku Direktur Eksekutif ReforMiner Institute menambahkan, bahwa Pemerintah harus punya ketegasan terkait siapa pengelola kegiatan usaha hulu migas termasuk regulasi yang mengaturnya yang sudah lama terkatung-katung.
“UU Migas 12 tahun di DPR tidak selesai-selesai, tetapi UU Minerba selesai dalam situasi pandemi COVID-19,” ucap Komaidi.
Ia melanjutkan, terkait siapa pengelola usaha hulu migas memang tetap perlu ada satu unit yang bekerja untuk menangani kerjasama hulu migas dengan pihak lain.
“Kalau misalkan SKK Migas akan dimasukkan kembali ke Pertamina, itu baik-baik saja. Karena memang dulu di UU No.8 Tahun 1971 (di bawah Pertamina) terbukti cadangannya 12 miliar barel dan produksinya mencapai 1,6 juta barel per hari,” ungkapnya.
Sementara itu, Arie Gumilar selaku Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menegaskan, bahwa demi kepentingan nasional maka harus ada keberpihakan kepada BUMN Migas, dalam hal ini Pertamina, yang harus diberdayakan dan dibesarkan.
“Karena itu, negara harusnya memberi hak kuasa pertambangan dan hak penguasaan kepada Pertamina melalui Kementerian ESDM untuk mengendalikan dan mengelola usaha hulu migas,” tandas Arie. (Edi Triyono)