Jakartakita.com – Indonesia menempati urutan kedua negara dengan panjang garis pantai terpanjang diantara 198 negara.
Menurut The World Factbook, kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya kelautan, keanekaragaman hayati & non hayati. Oleh sebab itu, Pemerintah telah mencanangkan pembangunan berhaluan kelautan dengan menjadi poros maritim dunia.
Salah satu programnya adalah dengan meningkatkan pemberdayaan, daya saing, dan kemandirian dalam menjaga keberlanjutan usaha kelautan dan perikanan. Upaya ini tak bisa dilepaskan dari peran para nelayan skala kecil untuk menjaga wilayah laut beserta ekosistem-nya agar tetap lestari dan perlu mendapat dukungan berbagai pihak.
“Sebagai salah satu negara kepulauan yang besar, Indonesia perlu mendapatkan perhatian dan Jerman telah mendanai proyek sejak 2008 untuk mencegah perubahan iklim dan melindungi keanekaragaman hayati,” kata Norbert Goriben, Head of Division, International Climate Finance, Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety, pada webinar “Perikanan Skala Kecil di Garis Depan”, sebagai rangkaian acara Pekan Diplomasi Iklim 2020, Rabu (28/10).
Menurutnya, upaya tersebut menjadikan sektor perikanan skala kecil dalam persektif mitigasi krisis iklim, bisa berdampak untuk kelestarian lingkungan dan membantu pemulihan perekonomian.
“Perlu inisiatif untuk mendorong adaptasi perubahan iklim seperti adanya akses teknologi ramah lingkungan, Bayangkan, para nelayan kehilangan lebih dari 36 persen tangkapan ikan karena kurangnya penyimpanan,” imbuhnya.
Di kesempatan yang sama, La Ode Sidiq Izhan perwakilan nelayan di pesisir wilayah Sulawesi Tenggara mengatakan, “Selain cuaca, ketersediaan pendingin es perlu dioptimalkan agar pemasaran juga meningkat, sebab tiap nelayan butuh 20 kg es per hari.”
Sementara Staf Dinas Perikanan Kabupaten Muna, Ramadan menambahkan, selama ini dinas perikanan setempat telah memberikan bantuan kepada para nelayan seperti alat tangkap ikan ramah lingkungan.
“Kami juga mengedukasi mereka terkait kawasan larang ambil, yaitu tempat ikan bertelur sehingga ikannya bisa menuju kawasan yang dikelola masyarakat,” terangnya.
Sedangkan Head of Sub-Division for Program and Statistic Data, Marine Affairs and Fisheries Southeast Sulawesi Provincial Office, Lely Fajriah menyebutkan, sebanyak 80 persen masyarakat pesisir di kawasan Sulawesi Tenggara itu adalah nelayan tangkap skala kecil.
“Pemerintah perlu terus mendukung kebijakan yang melindungi dan memberdayakan mereka melalui berbagai pendekatan pengembangan perikanan berbasis ekosistem lingkungan,” jelasnya.
Adapun Principal Advisor Electrification Through RE, GIZ, Frank Stegmueller mengatakan, bahwa sebuah inisiatif energi yang berkelanjutan sedang digarap bersama masyarakat di daerah terpencil pesisir di wilayah Indonesia.
“Inovasi teknologi hijau ini diharapkan bisa memperkuat posisi nelayan kecil terhadap pasar, meningkatkan pendapatan di daerah dan menurunkan emisi karbon, seperti pemanfaatan energi panel surya untuk produksi es sebagai media pendingin hasil tangkapan nelayan,” jelasnya.
Pekan Diplomasi Iklim 2020 berlangsung mulai 24 Oktober hingga 6 November mendatang, dan merupakan cara kreatif Uni Eropa dalam mengampanyekan perubahan iklim.
Tahun ini, Uni Eropa berkolaborasi dengan pemerintah Indonesia, 8 kedutaan besar negara-negara anggota Uni Eropa dan lebih dari 100 organisasi not-profit, kelompok pemuda, perwakilan komunitas, sektor swasta, selebriti dan opinion leader serta penggiat lingkungan.