BPOM : Belum Ada Resiko Kesehatan Terkait Mikroplastik
Jakartakita.com – Hasil riset Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia dan Greenpeace Indonesia atas kontaminasi mikroplastik pada air minum kemasan plastik bentuk botol maupun galon pada penghujung September silam menyebutkan, tidak ada air minum dalam kemasan yang beredar di Jakarta Raya terbebas dari partikel renik itu. Bahkan, bila sumber air di alam ikut jadi acuan, hasilnya tetap sama.
Menyusul kembali maraknya perbincangan di ruang publik ihwal kontaminasi mikroplastik dalam air minum kemasan, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan pada Badan Pengawas Obat dan Makanan, Rita Endang menegaskan, sampai saat ini belum ada risiko kesehatan terkait mikroplastik.
Dalam keterangan pers yang dirilis Senin (25/10), Rita meminta masyarakat untuk bijak.
“Badan POM, sesuatu tugasnya, tak pernah lepas dari mengawasi segala hal terkait keamanan dan mutu obat dan makanan untuk menjaga kesehatan masyarakat,” katanya.
Menurut Rita, mikroplastik pada dasarnya adalah ‘unsur serpihan plastik’ yang tak kasat mata, ukuran satu hingga lima mikrometer.
Mikroplastik, katanya, ada di semua unsur plastik jika sampai mengalami degradasi, alias runtuh dari badan polimer, baik karena karena perubahan suhu, gesekan dan sebagainya.
“Degradasi itu bisa terjadi pada plastik jenis PET, PC, PP,” jelasnya, merujuk pada jenis plastik yang jamak dijumpai di pasaran dalam wujud wadah botol plastik air minum.
Namun, ia menekankan, fakta itu tak seharusnya membuat publik cemas. “Sampai saat ini, belum ada resiko kesehatan terkait mikroplastik,” tegas Rita.
Ia merujuk pada maklumat organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan, belum merekomendasikan pemantauan rutin atas kontaminasi mikroplastik dalam air kemasan.
Lebih jauh, Rita menyebut, pada 2020, rapat bersama Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives menyampaikan, mikroplastik belum perlu jadi prioritas analisis.
“Bahkan pada 2021 otoritas keamanan pangan tertinggi Eropa, European Food Safety Authority, juga menyampaikan hal yang sama: (pemantauan rutin) mikroplastik belum menjadi prioritas,” sambungnya.
Seperti diketahui, kontaminasi mikroplastik pada air minum menjadi isu hangat di banyak negara, termasuk Indonesia, setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Pemantiknya adalah, dua laporan hasil riset uji kontaminasi mikroplastik pada air keran (tap water) dan pada air minum dalam kemasan plastik pada 2018.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), data awal seputar kontaminasi mikroplastik pada air minum dalam wadah botol plastik banyak merujuk pada hasil riset Departemen Kimia, State University of New York at Fredonia, Amerika Serikat.
Dari riset itulah kemudian bermunculan banyak penelitian sejenis, berikut gunungan pertanyaan, dan juga kecemasan, atas dampak kontaminasi mikroplastik dalam air minum pada tubuh manusia.
Riset dari Fredonia itu, hasilnya terbit pertama kali dengan judul “Synthetic Polymer Contamination in Bottled Water” di jurnal Frontier in Chemistry pada September 2018, mencakup uji kontaminasi mikroplastik atas 11 merek air minum kemasan botol plastik di sembilan negara, termasuk air minum merek Aqua dari Indonesia.
“Kenapa Aqua? Kenapa Indonesia? Laporan menyebut, pemilihan sampel mempertimbangkan tiga faktor utama, yakni; keragaman geografis, pangsa pasar air kemasan (lima yang terbesar termasuk China, Amerika, Brazil, India, Indonesia), dan tingkat konsumsi perkapita air kemasan (yang tertinggi termasuk di Lebanon, Meksiko, Thailand dan Amerika),” beber Rita.
Lebih lanjut dijelaskan, khusus untuk parameter pangsa pasar air kemasan, laporan menyisipkan statistik rangking penjualan masing-masing merek di level lokal dan global. Aqua digambarkan sebagai merek dengan angka penjualan tertinggi di Indonesia, sekaligus yang ketiga di level dunia.
Dalam soal volume, penjualan Aqua di Indonesia menempatkan perusahaan, menginduk ke raksasa air berbasis Perancis, Danone, di peringkat keempat dunia.
Juga disebutkan, bahwa riset menggunakan sampel air minum botol Aqua dalam berbagai ukuran yang dibeli dari tiga kota, yakni Medan, Bali dan Jakarta.
Pada intinya, lanjut Rita, penelitian berujung temuan bahwa 93% dari total 259 botol sampel air minum kemasan yang diuji menunjukkan ‘sejumlah tanda telah terjadi kontaminasi mikroplastik’.
Dengan bantuan program komputer, riset menghitung ukuran, konsentrasi dan jenis mikroplastik pada semua sampel. Dari situ diketahui rata-rata ada 10,4 partikel mikroplastik dengan ukuran di atas 10 mikrometer per liter dalam setiap botol sampel.
Sementara itu, pemeriksaan dengan mikroskop FTIR mengonfrmasi partikel renik yang berhasil diidentifkasi adalah polimer plastik dengan jenis yang paling dominan adalah polypropylene – jamak digunakan sebagai bahan baku produksi tutup botol air minum kemasan.
Bagian lain laporan menyebut kontaminasi mikroplastik pada sampel yang diuji kemungkinan bersumber dari kemasan plastik dan atau saat proses pengisian air minum di pabrik pengolahan.
Disebutkan pula bahwa level kontaminasi air minum dalam kemasan botol plastik lebih tinggi dari data kontaminasi mikroplastik pada air keran di berbagai negara, yang didapatkan dari riset sebelumnya.
Dalam bagian akhir, laporan mempertimbangkan fakta belum ada penelitian yang konklusif terkait dampak kontaminasi mikroplastik pada manusia dan fenomena masifnya konsumsi air minum kemasan di seluruh dunia.
Lantaran itulah, riset kemudian merekomendasikan pengurangan produksi dan konsumsi air minum kemasan botol plastik, utamanya untuk mereka yang tinggal di wilayah dimana masih tersedia air keran yang bersih dan sehat. Itu lantaran banyak kalangan yang mengamini rekomendasi itu. Salah satunya, setelah dua tahun berlalu, adalah peneliti di Pusat Riset dan Kajian Obat dan Makanan Badan POM.
Dalam dokumen ‘Kajian Risiko’ mikroplastik pada air kemasan pada akhir Desember 2020, peneliti lembaga menyarankan ‘tindakan pengendalian berupa pengurangan penggunaan plastik’, pemetaan cemaran mikroplastik pada sampel air baku, air minum dan air yang digunakan untuk produksi Obat dan Makanan, dan identifkasi ‘titik-titik kritis’ kemungkinan terjadinya kontaminasi pada proses pengolahan air minum kemasan.
Masih dalam laporan yang sama, peneliti menyebut hanya ada sedikit penelitian kontaminasi mikroplastik dalam air minum kemasan yang telah dipublikasikan di Indonesia.
“Ini paradoks, mengingat Indonesia adalah produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia, memliki 1.145 produsen air minum kemasan yang tersebar di seantero negeri, dengan tingkat konsumsi air minum kemasan mencapai 26,2 miliar liter pada tahun 2016,” tandas Rita. (Edi Triyono)