Mahasiswa Universitas Pertamina Tawarkan Penggunaan Briket Tempurung Kelapa Sebagai Solusi Bahan Bakar Ramah Lingkungan
Jakartakita.com – Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Pertamina (UPER) ikut ambil peran dalam inovasi produk bahan bakar ramah lingkungan sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Mereka adalah, Putu Mega Dana, Muhammad Rio Ferdiansyah, Putra Anugrah, dan Putra Trimarianto Hutagaol, yang membantu para petani membuat briket berbahan dasar tempurung kelapa.
“Di daerah tempat saya tinggal, di Kota Bitung, Sulawesi Utara, banyak petani kelapa yang menggantungkan hidup mereka hanya pada penghasilan bertani. Sejauh ini, mereka memanfaatan tempurung kelapa dengan mengolahnya menjadi arang. Lalu, kami terfikir untuk mengedukasi para petani dan membantu mereka mengolah arang menjadi briket yang lebih bernilai jual tinggi,” ungkap Putra Anugrah, seperti dilansir dalam siaran pers, Kamis (09/06).
Pengolahan arang oleh para petani kelapa, tutur Putra, selama ini dilakukan melalui metode pembakaran konvensional dengan media tanah atau drum. Arang yang dihasilkan dari pembakaran dengan media tanah kualitasnya kurang baik dan berpotensi mencemari udara.
Sementara, pembakaran dengan media drum menghasilkan arang yang berkualitas baik, namun tetap tidak ramah lingkungan.
“Karenanya, tim menawarkan metode pembakaran ramah lingkungan yang menghasilkan asap cair. Selain berpotensi mengurangi polusi udara, cairan hasil pembakaran tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal. Cairan hasil pembakaran tingkat I dapat digunakan untuk mengawetkan makanan, tingkat II dapat digunakan sebagai biopestisida, dan tingkat III dapat digunakan sebagai pengawet kayu,” terang Putra.
Adapun Putu Mega Dana selaku ketua tim, mengungkapkan bahwa metode pembakaran yang ditawarkan memiliki beberapa tahapan.
Tahap pertama adalah pirolisis, yakni pembakaran tempurung kelapa dengan suhu tinggi tanpa adanya oksigen untuk memisahkan senyawa menjadi beberapa bagian. Proses pirolisis ini akan menghasilkan asap.
“Asap dari hasil pembakaran tersebut kemudian dikondensasikan atau diubah dari bentuk uap menjadi cair. Cairan hasil pembakaran selanjutnya dimurnikan dengan cara diendapkan, sehingga akan menghasilkan cairan dengan tiga tingkatan tadi,” tutur Putu.
Melalui metode pembakaran asap cair, lanjut Putu, petani bisa memperoleh arang dengan kualitas baik, karena arang tidak akan bercampur dengan tanah seperti pada proses pembakaran konvensional.
“Arang yang sudah jadi ini akan dihaluskan dalam mesin penepung untuk kemudian dicampur dengan kanji dan air. Selanjutnya, adonan arang siap untuk dicetak menjadi briket sesuai permintaan pasar atau konsumen. Setelah di oven dan didinginkan, briket bisa langsung dikemas dan dipasarkan,” pungkas Putu.
Dengan modal sekitar Rp10 juta untuk mengolah 1 ton arang, Putu dan tim yakin bisa menghasilkan keuntungan bersih mulai dari Rp25 juta – Rp 60 juta.
Tak heran jika gagasan ini mengantarkan keempat mahasiswa menduduki posisi lima besar di ajang internasional bergengsi besutan perusahaan migas multinasional, Shell, NXPlorers 2022. (Edi Triyono)