Aplikasi Geothermal Bikinan Mahasiswa Universitas Pertamina Raih Juara Pertama ‘Halliburton AI/ML Innovation Challenge’
Jakartakita.com – Satu lagi karya mahasiswa Indonesia berjaya di kompetisi global.
Kali ini, inovasi mahasiswa Universitas Pertamina (UPER) berhasil merebut juara pertama di ajang internasional ‘Halliburton AI/ML Innovation Challenge’, pada tanggal 25-26 Agustus 2022 lalu.
Berhadapan dengan finalis dari ITB, Universiti Teknologi Petronas (Malaysia), Dibrugarh University (India), China University of Petroleum (China), dan Akita University (Japan), Tim UPER berhasil mengungguli tim dari program magister Dibrugarh University, India, yang meraih gelar 1st Runner Up; dan tim dari program magister Universiti Teknologi Petronas, Malaysia, yang berada di posisi 2nd Runner Up.
Adalah Mochammad Naufal Septifiandi dan Firman Cahya Putra Adistia, dua mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan Universitas Pertamina (UPER), yang memiliki ketertarikan pada penelitian dan pengembangan potensi panas bumi.
Melalui pemanfaatan machine learning (ML), keduanya berhasil menciptakan aplikasi berbasis website untuk mencari zona prospek potensi eksplorasi panas bumi yang user-friendly, akurat dan efisien.
“Aplikasi yang kami beri nama The Dimensionless ini, membantu para pengguna menentukan lokasi yang memungkinkan untuk mengembangkan energi panas bumi dengan cepat, akurat, dan efisien. Melalui pemanfaatan Machine Learning (ML) yang kami integrasikan dalam aplikasi, diharapkan tingkat ketidakpastian dalam eksplorasi Energi Baru Terbarukan (EBT) dapat menurun,” ungkap Firman seperti dilansir dalam keterangan pers, Minggu (28/8).
Aplikasi tersebut, lanjut Firman, memiliki fitur Graphical User Interface (GUI) yang memudahkan praktisi migas mengoperasikan program.
“Bahkan, bagi mereka yang tidak mengerti bahasa pemograman sekalipun, aplikasi akan sangat mudah digunakan. Disamping itu, kami juga menambahkan fitur unduh data maupun laporan yang dapat digunakan untuk analisa lanjutan,” imbuh Firman.
Lebih lanjut Firman mengungkapkan, pengguna aplikasi hanya perlu memasukkan data yang akan digunakan untuk memprediksi zona geothermal. “Misalnya data geologi, geokimia, dan suhu. Aplikasi kemudian akan memproses data tersebut menggunakan machine learning. Hasilnya berupa pembagian zona beserta rangking dari potensi geothermal yang ditampilkan dalam bentuk titik clustering. Interprestasi ini tentunya akan divalidasi dengan data riil hasil pengukuran lapangan,” tutur Firman.
Sedangkan Naufal, anggota tim lain menambahkan, industri energi memiliki data yang jumlahnya sangat banyak. Sehingga, dalam penghitungannya membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.
Di sisi lain, lanjutnya, perkembangan teknologi komputasi, seperti kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/AI) dan machine learning (ML), saat ini semakin pesat. Ditambah, kehadiran cloud computing yang memberikan kebebasan kepada engineer untuk melakukan kegiatan eksplorasi tanpa terbatas ruang dan waktu.
Naufal juga berharap, inovasi ini dapat dikembangkan ke tahap yang lebih jauh, khususnya pada pengembangan server dan penghitungan biaya.
Sehingga, aplikasi dapat digunakan oleh perusahaan maupun pemerintah yang ingin melakukan eksplorasi di bidang geothermal.
Inovasi ini juga diharapkan dapat menjadi studi literatur bagi pihak terkait di bidang eksplorasi geothermal.
“Menurut saya, Indonesia perlu menjadikan momentum Presidensi G20 untuk mengoptimalkan EBT, salah satunya pemanfaatan panas bumi. Karena hal ini akan berpotensi mengakselerasi capaian Sustainable Development Goals (SDGs) terkait pengurangan emisi karbon,” jelas Naufal.
Lebih lanjut diakui Firman dan Naufal, bimbingan dari para dosen UPER serta kehadiran mata kuliah di kelas, seperti Teknik Geothermal dan Kecerdasan Buatan di Bidang Migas, sangat membantu tim untuk mengembangkan inovasi.
Raka Sudira Wardana, M.T., Ketua Program Studi Teknik Perminyakan sekaligus pakar teknik pengeboran UPER, mengapresiasi prestasi yang diraih oleh kedua mahasiswa.
“Meskipun dihadapkan pada tantangan yang cukup kompleks, seperti sulitnya memperoleh data lapangan minyak, tim tetap bisa memberikan hasil terbaik. Sementara itu, kecerdasan buatan yang termasuk salah satunya machine learning, juga masih sangat sedikit digunakan untuk optimalisasi EBT,” ujar Raka.
Asal tahu saja, seperti dilansir dari website resmi Dewan Energi Nasional (DEN), disebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan potensi panas bumi (geothermal) terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat.
DEN mencatat, potensi panas bumi di Indonesia mencapai 23,7 GW atau sekitar 40 persen dari total potensi dunia.
Namun menurut DEN, dari jumlah tersebut, Indonesia baru memanfaatkan potensi panas bumi sekitar 4,5 persen.
Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara dan Badan Keahlian Dewan DPR RI mengindikasi, permasalahan data serta aspek penelitian dan pengembangan, sebagai salah satu faktor yang melatarbelakangi tantangan tersebut. (Edi Triyono)