Potensi Pengembangan Teknologi Dalam Sistem Pengendalian IMEI
Jakartakita.com – Aturan pengendalian International Mobile Equipment Identity (IMEI) sudah ditetapkan Pemerintah sejak 18 April 2020. Penetapan aturan tersebut bertujuan menekan penggunaan ponsel ilegal di Indonesia yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat. Kemudian Pemerintah memberlakukan pengendalian IMEI mulai Selasa, 15 September 2020 lalu.
Untuk diketahui International Mobile Equipment Identity (IMEI) adalah kombinasi 15 – 17 digit angka yang berfungsi sebagai identitas ponsel. Seluruh ponsel di dunia memiliki IMEI yang berbeda. IMEI juga penting untuk mengetahui negara dan jaringan asal perangkat, garansi, informasi operator, dan detail lainnya.
Tujuan diterapkannya Pengendalian IMEI adalah untuk menekan penggunaan ponsel ilegal di Indonesia yang menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat. Dengan diberlakukannya Pengendalian IMEI, maka berpotensi meningkatkan pendapatan negara kurang lebih sebesar Rp 2,8 Triliun per tahun dari peredaran ponsel ilegal.
Sebagaimana diketahui ponsel ilegal juga akan berdampak terhadap kerugian konsumen dari kualitas layanan operator selular yang dipengaruhi oleh perangkat yang tidak berkualitas dan potensi kerugian negara Rp 2 sampai dengan 5 triliun.
Pengendalian IMEI juga memiliki tujuan lain, yakni menurunkan tingkat kriminalitas, mengurangi tingkat pencurian perangkat selular. Dan, tentunya untuk meningkatkan kepercayaan investor dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat dan kompetitif.
Ancaman Pelaku Unlock IMEI
Dalam pelaksanaannya pemerintah menetapkan empat pintu pendaftaran IMEI ke CEIR (central equipment identity registry). Pertama lewat Perindustrian untuk IMEI yang didaftarkan produsen lokal dan importir resmi, kedua lewat pintu Kominfo khusus tamu negara, VIP, VVIP perwakilan negara asing/organisasi internasional dan keperluan pertahanan keamanan. Pintu yang ketiga dari Ditjen Bea & Cukai berupa ponsel bawaan, dan barang kiriman dari luar negeri, lalu pintu keempat lewat operator seluler.
Kendati telah diterapkannya aturan pengendalian IMEI, belakangan muncul di e-commerce jasa Unlock IMEI dengan beragam variasi.
Adanya fenomena ini harus disikapi secara tegas bahwa Unlock IMEI adalah termasuk prilaku melanggar hukum. Bisa dikategorikan mendukung beredarnya ponsel ilegal (black market).
Merza Fachys selaku Wakil Ketua ATSI menyatakan bahwa pihak operator mendukung sepenuhnya pelaksanaan Pengendalian IMEI oleh seluruh ekosistem. Konsumen juga harus sadar untuk tidak membeli ponsel ilegal. Dengan demikian, lanjut Merza peredaran ponsel ilegal lambat laun akan mati dengan sendirinya. “Mereka terus berupaya mencari celah, jika tak ada yang berminat, maka pasarnya pun tak ada,” ungkap Merza dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (29/11).
Terkait dengan system CEIR yang dikelola Kemenperin untuk mendaftar IMEI, Merza menyakini sampai sejauh ini teknologi tersebut masih terbilang aman. Kendati demikian menurutnya perlu terus dilakukan update secara berkala.
Sementara itu, Slamet Riyanto, Koodinator Fungsi IND Peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Perkantoran dan Elektronika Prefesional Kementerian Perindustrian mengatakan dampak dari Pengendalian IMEI adalah menurunnya aktivitas penyelundupan ponsel dan pendapatn negara sekitar Rp. 1 Trilun. “Dampak dari Pengendalian IMEI Terjadi penurunan kasus penyelundupan ponsel setelah implementasi regulasi pengendalian IMEI, dan meningkatnya pendapatan negara. Data ini berdasarkan Ditjen Bea dan Cukai. Sistem CEIR juga selalu kami update per tiga bulan,” kata Slamet.
Teguh Prasetya, dari Masyarakat Telekomunikasi (MASTEL) mengatakan, Pengendalian IMEI sangat efektif untuk meredam peredaran ponsel ilegal. Hanya saja menurutunya, perlu ada penegakan hukum yang nyata terhadap para pelaku penyelundupan ponsel ilegal dan penindakan secara tegas terhadap pelaku Unlock IMEI. Pelaku Unlock IMEI menurutnya termasuk dalam pelanggaran hukum di wilayah Indonesia.
Teguh mengatakan jika mengacu pada ancaman pelaku penjual ponsel black market (ilegal) sendiri masuk dalam ancaman pidana dan denda kejahatan perdagangan barang selundupan yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1995 yang kemudian mengalami perubahan lewat UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
“Dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),” bunyi pasal 102 UU Nomor 17 Tahun 2006.
Ancaman hukuman pidana penjara dan denda tersebut dikenakan pada siapa saja yang memenuhi salah satu kriteria berikut:
- Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes.
- Membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean.
- Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean.
- Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan.
- Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum.
- Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini.
- Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya.
- Dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah.
“Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) bunyi Pasal 103.
UU tersebut juga menjerat pelaku yang pemalsuan dokemen pabean dengan ancaman pidana paling singkat 2 tahun dan paling lama 8 tahun. Lalu denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 5 miliar. (Edi Triyono)