Mengintip Bisnis ‘Lendir’ di Media Sosial
Jakartakita.com – Seiring dengan perkembangan zaman, media sosial kini sudah menjadi kebutuhan primer manusia modern. Berbagi informasi kini dengan cepat dilakukan melalui media sosial. Dari mengikuti isu nasional dan internasional terkini hingga memantau kemacetan lalu lintas, bisa dilakukan di media sosial. Sudah pasti mereka yang tidak memiliki kemudahan akses media sosial melalui smartphone-nya akan ketinggalan banyak berita.
Pada awalnya, media sosial memang hanya digunakan sebagai media untuk menukar informasi, memperluas networking, dan sejenisnya. Kemudian, mulai bermunculan tipe pengguna yang menggunakan akun pribadi mereka sekalian untuk berdagang. Mereka menggunakan akun media sosial untuk menghasilkan uang dengan memposting aneka barang dagangan. Bahkan kini media sosial tak hanya marak oleh perdagangan barang dan jasa legal namun juga ilegal, seperti prostitusi. Salah satu media sosial yang kerap dijadikan media berpromosi oleh para pelaku ‘bisnis lendir’ ini adalah twitter.
Kasus Alfi Sahrin Alias Deudeuh alias Empi yang ditemukan tewas mengenaskan di kamar kosnya kawasan Tebet, Jakarta Selatan pada Sabtu 11 April 2015. Belakangan terungkap, perempuan itu ternyata seorang PSK yang menjajakan diri lewat jejaring sosial. Deudeuh “mempromosikan” diri melalui akun twitter Tataa Chubby.
Ini membuktikan, twitter sudah lama menjadi bagian dari praktik prostitusi terselubung yang sudah lama eksis di media sosial selama ini. Entah akun itu palsu atau asli, namun media sosial sudah lama dimanfaatkan bagi sebagian pemiliknya untuk menjajakan dirinya.
Para penjaja seks di media sosial ini memang suka menggunakan nama-nama akun berkonotasi jorok, seperti misalkan; jablay, binal, nakal, toket, dan lain-lain untuk memudahkan calon mangsa mencari mereka. Setelah calon mangsa atau pengguna biasa yang kebetulan ‘kesasar’ tak sengaja mampir. Suguhan foto erotis, kata-kata,link artikel atau video porno siap menyambut mereka. Jika calon mangsa tertarik, tinggal menghubungi si pengguna mesum untuk transaksi lebih lanjut.
Dalam profile akun Twitter @tataa_chubby, Deudeuh secara blak-blakan menuliskan informasi pribadinya dan menjurus bahwa orang-orang bisa menyewa jasanya.
“25 Tahun, 168/65/34B/putih. Open BO include room 350 sejam 1x keluar. Include room/caps, serious only, no BBM, no WA, SMS only. No nego, real account,” begitu tulisan di profil tersebut.
Dalam akun tersebut, Deudeuh juga sering mengunggah screenshot percakapan pesan instannya dengan sejumlah pria yang memakai jasanya dan bertamu ke tempat indekosnya sebagai bukti testimoni kepuasan pelanggan.
Prostitusi sendiri bukan hal baru. Sejak jaman Mesir kuno hal itu sudah ada. Seiring perkembangan zaman, hasil budaya satu ini pun melakukan adaptasi.Mereka sukses menyelinap di media sosial. Karena prostitusi dunia maya memberikan kemudahan termasuk penjaja seks. Kecepatan, kerahasiaan, keterbukaan untuk mengakses banyak “calon” klien, murah menjadi daya tarik dunia maya.
Prostitusi online lebih dipilih PSK ketimbang prostitusi offline atau jalanan yang dekat dengan stigma negatif masyarakat yang disematkan kepada para PSK jalanan. Menjadi PSK melalui Twitter jauh lebih aman dan praktis. PSK tidak butuh harus selalu terikat dengan mucikari. Mereka bisa dengan bebas mempromosikan diri di Twitter. Mereka pun tak kesulitan untuk berbaur dengan masyarakat, karena tak banyak yang mengetahui profesi sang PSK yang sesungguhnya bahkan keluarga terdekat sendiri.
Namun tentu saja bisnis ‘lendir’ ini bukan tanpa resiko. Sama seperti bisnis ‘lendir’ konvensional. PSK tidak pernah tahu siapakah calon pelanggan barunya. Resiko tertular penyakit kelamin, AIDS, hingga kematian bisa saja mengintai kapan saja.
Seperti diketahui, Deudeuh ternyata tewas dibunuh oleh pelanggannya sendiri berinisial RS karena sakit hati. RS merupakan seorang guru privat yang ternyata sering menggunakan jasa PSK online.
Perlu adanya peran serta pemerintah dan pihak terkait untuk memberantas prostitusi terselubung yang mulai marak di media sosial. Mengingat penghuni media sosial tidak hanya mereka yang sudah cukup umur. Tak sedikit remaja bau kencur dan anak-anak yang bisa saja tanpa sengaja ‘kesasar’ di akun para PSK. Kalau sudah begini siapa yang harus bertanggung jawab pada nasib anak bangsa yang masih polos namun terkontaminasi oleh keberadaan media sosial berbau pornografi.
Rasanya kewarasan Politisi PDIP, Eva Sundari yang pernah mengatakan “Situs Islam lebih berbahaya dari Situs Porno” perlu dipertanyakan.