Jangan Mau Jadi Korban Globalisasi, Redesain Pembangunan Ekonomi Indonesia!
Banyak pihak di Indonesia mendewakan globalisasi. Bahkan mengorbankan kepentingan jangka panjang bangsa sekedar dikatakan berpikiran global.
Tanpa disadari, globalisasi menghadirkan free fight. Negara kecil maupun negara kaya sumber daya alam yang salah kelola, akan menjadi korban globalisasi. Yunani merupakan salah satu contohnya.
Partisipasi Yunani dalam Uni Eropa justru menjeratnya ke dalam utang yang besar. Diperkirakan ke depan Yunani dan beberapa negara lainnya akan mengalami persoalan yang lebih serius dan berpotensi terdepak dari Uni Eropa.
Bila ini terjadi, diperkirakan sulit bagi mereka untuk kembali menggerakan perekonomian seperti sebelum menyatu ke Uni Eropa karena telah terlanjur sangat tergantung pada negara besar di Uni Eropa.
Indonesia dapat juga menjadi korban globalisasi. Walaupun memiliki wilayah yang luas dan kaya sumber daya alam, Indonesia sangat tergantung pada pasar global. Bahkan kebutuhan pokok, seperti beras dan sebagainya, sebagian besar di impor. Juga fokus pada ekspor tanpa memperhatikan pasar domestik. Akibatnya, manakala ekonomi global terganggu, ekonomi Indonesia juga ikut terpengaruh bahkan lebih parah.
Penyebab kondisi ini adalah ketidakjelasan disain pembangunan ekonomi. Ini ditandai oleh tidak adanya tujuan jangka panjang yang “konkrit” dan strategi mencapainya.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah (RPJP/M) hanyalah formalitas. Itu telah terjadi sejak akhir Orde Baru dan diperparah pada Orde Reformasi.
Bangsa ini terlalu tergantung pada perdagangan komoditas mentah, baik pertambangan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya dimana ketersediaannya semakin menipis.
Ke depan, potensi perang saudara merebut remah-remah sumber daya alam semakin terbuka lebar. Sudah saatnya pemerintah meredisain pembangun ekonomi secara fundamental.
Redisain tersebut perlu memperhatikan beberapa hal berikut.
Pertama, substitusi impor atas barang yang banyak di impor, terutama kebutuhan pokok. Ini tidak berarti memproduksi 100% tetapi produksi dalam negeri harus dominan. Substitusi impor atas kebutuhan pokok tidak sekedar jumlah tetapi juga kualitas agar masyarakat mau mengkonsumsinya.
Produksi beras, sapi, dan rempah-rempah, bukan persoalan yang sangat sulit bagi Indonesia bila dilihat dari kondisi alam. Hanya dibutuhkan political will, strategi yang jelas, teknologi tepat guna, pelibatan generasi muda, serta konsistensi penerapannya.
Penghambat utamanya adalah perilaku rent-seeking oknum elit yang ingin produksi domestik gagal agar mendapat fee dari kuota impor. Penghambat lainnya adalah jumlah dan kualitas penyuluh pertanian, serta kelembagaannya yang sangat memprihatinkan.
Kedua, mendorong hilirisasi industri. Ini tidak sekedar memperbesar nilai tambah tetapi juga memperlambat eksploitasi sumber daya alam serta mengurangi fluktuasi bahan mentah dalam negeri. Kebijakan hilirisasi perlu disinergikan dengan kebijakan local content, infrastruktur serta hubungan Inti-Plasma antara usaha besar, menengah, dan kecil yang berada dalam satu mata rantai produksi.
Ketiga, mengembangkan sinergitas kebijakan antar kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Tanpa sinergi kebijakan, maka yang terjadi adalah kebijakan saling menghambat. Arogansi sektoral merupakan tantangan terberat yang harus dipatahkan dalam melakukan sinergi kebijakan.
Keempat, pembangunan infrastruktur yang terintegrasi. Banyak terjadi di Indonesia pembangunan infrastruktur di suatu wilayah tidak terintegrasi dengan infrastruktur pendukungnya. Akibatnya, infrastruktur yang dibangun menjadi mubazhir tidak terpakai dan cenderung menghamburkan uang***
Penulis : Agus Tony Poputra, Ekonom FEB Universitas Sam Ratulangi Manado