“Rayuan Pulau Palsu” Suarakan Jeritan Hati Nelayan Teluk Jakarta
Jakartakita.com – Bertempat di Goethe Haus, Jakarta, pada Jumat (13/5/2016), Watchdoc mengajak masyarakat untuk nonton bareng dan diskusi film “Rayuan Pulau Palsu”.
Film ini menceritakan tentang kehidupan nelayan yang sangat sederhana di Muara Angke, Teluk Jakarta, yang terganggu aktivitas menangkap ikannya, karena pembangunan 13 pulau oleh Agung Podomoro Land dan Garuda Island, yang membuat para nelayan menjadi semakin sulit mencari ikan, dan lautnya menjadi tercemar karena ada limbahnya.
Di film ini, Watchdoc mengikuti kehidupan sehari-hari nelayan dari bulan Januari – April 2016, saat mereka mencari ikan yang hasil tangkapannya sangat sedikit. Berbeda sebelum ada reklamasi, biasanya mendapatkan 30-40 kilogram, sekarang hanya dapat 2-10 kilogram saja. Per kilogramnya hanya dihargai Rp 5 ribu saja. Reklamasi membuat nelayan sangat sulit mencari ikan untuk menafkahi keluarga mereka, makanya mereka ke pengadilan untuk menuntut Pemerintah supaya menghentikan reklamasi dan mengadakan demo.
Suara mereka didengar oleh Pemerintah, mereka diajak rapat untuk mengutarakan ketidaksetujuan mereka atas reklamasi Teluk Jakarta, tetapi Pemerintah hanya memberhentikan sementara proyeknya.
Lalu pada 27 April 2016, Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan reklamasi tersebut. Film ini dibuat oleh dua tim yang memakan waktu tiga bulan dan tidak menggunakan script jadi apa adanya dan merupakan suara hati dari nelayan.
Edith Ernest, yang menjadi salah satu bagian dari tim produksi film mengatakan, “Menurut saya, sederhana merekam dan memotret apa yang terjadi di Muara Angke dan ingin mengangkat suara-suara warga nelayan jauh lebih berharga, dibandingkan apa yang direkayasa.”
Rudi Saputro sebagai sutradara menyebut, “Ide film yaitu setiap menuju tahun baru kami semua kru ditantang produser untuk membuat kelanjutan film reklamasi Teluk Benoa. Jadi kami inisiatif untuk membuat sebuah film atau riset, jadinya di Muara Angke. Dari Watchdoc film, ini tidak ada yang membiayakan, jadi inisiatif kita sendiri sehingga mengalir apa adanya.”
Riza Darmani mengatakan, “Nelayan ke laut tidak hanya urusan ekonomi, jadi mengambil kiriman Tuhan. Realita yang ada di kampung Teluk Jakarta, ada atau tidak ada ikan pergi ke laut. Jadi nelayan dan laut adalah sesuatu yg melekat. Mengapa keberatan? Karena pulau yang dibuat bukan untuk mereka, tapi untuk kepentingan orang lain, reklamasi 17 pulau merusak dan mengotori Teluk Jakarta yang biasa ditelusuri untuk mendapatkan ikan. Jadi, Teluk Jakarta tidak untuk direklamasi.”
Martin Siregar juga menjelaskan, “Plot alurnya jadi isu nasional, karena ada kaitan dengan kasus korupsi. Jadi korupsi besar yang melibatkan pengusaha dan penguasa merupakan potret buruk yang diakibatkan oleh penguasa. Memulai koalisi sejak September 2015 terhadap Pulau G, tapi sudah dimulai dari awal 2015. Penolakan reklamasi sendiri sudah dimulai dari 2003, dan sudah menerbitkan penolakan pembangunan reklamasi. Jadi sudah lama sekali ditolaknya juga ada kepentingan politik juga. Sudah generasi kedua dan tiga yang menolak reklamasi.”
Saefudin, salah satu nelayan Teluk Jakarta mengatakan, “Sebenarnya pembuatan film ini berjalan lima bulan, jadi diikuti kemana-mana sampe ke pengadilan dan penyegelan Pulau G, di situlah pembuatan film terakhir dan diketahui reklamasi sangat menganggu nelayan. Ikan-ikan kecil dan udang jadi mati semua, padahal mereka mayoritas nelayan tradisional yang penghasilannya 2-10 kilogram. Di situ ada tiga ribu nelayan dan rata-rata memiliki keluarga, jadi tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Penyegelan Pulau G, karena Sanusi ditangkap terkait izin.”
Marko Kusumawijaya selaku ahli tata kota sebagai penutup mengatakan, “Reklamasi tidak diperlukan. Tanpa ada giant sea walk, hanya bisnis properti, karena solusi yang salah jadi semakin merusak. Untuk melindungi Jakarta hanya perlu membangun panggul daerah pantai dan bagian yang amblas saja. Jadi tidak semua pantai Jakarta tidak lebih rendah dari laut, sehingga sudah bisa berfungsi untuk tanggul lainnya. Jadi reklamasi tidak diperlukan dan tidak boleh diambil alih oleh swasta, karena laut milik bersama. Tidak boleh mengubah laut begitu saja untuk milik pribadi, dan harus dihentikan karena untuk kepentingan swasta, bukan untuk kepentingan orang banyak.” (Soraya Jenitta Marsha)