Seperti kita ketahui bersama, dalam Pasal 7 ayat 6 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara 2012. Pasal 7 ayat (6) ini menyatakan bahwa harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.Karena APBN akan mengalami defisit jika harga BBM tidak disesuaikan dengan harga minyak dunia, maka Pemerintah berencana menaikkan harga BBM. Maka hal itu harus dirundingkan dalam Sidang Paripurna DPR RI (30/3/2012).
Dalam sidang ini akhirnya berkembang wacana tambahan Pasal 7 ayat 6 A. Penambahan ini untuk memberikan kelonggaran kepada Pemerintah menaikkan harga BBM yang mengatur bahwa dalam hal minyak mentah dunia mengalami kenaikan atau penurunan 5 persen, maka pemerintah berwenang menyesuaikan subsidi dan mengubah harga.
Tapi muncul lagi opsi lain. Syarat 5 persen berubah menjadi 15 persen. Beberapa fraksi kemudian memberikan usulan. PKB kemudian menaikkan 17,5 persen. Golkar juga mengusulkan 15 persen dengan kenaikan atau penurunan rata-rata itu harus dihitung dalam waktu enam bulan.
Dengan begitu rencana awal pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter per 1 April 2012 tetap ditolak. Sebab harga rata-rata 6 bulan terakhir belum 15 persen di atas asumsi ICP baru sebesar US$ 105/barel. Pemerintah juga sependapat dengan asumsi baru APBN-P. Yaitu pertumbuhan ekonomi 6,5 persen, inflasi 6,8 persen, harga ICP US$ 105/barel, nilai tukar rupiah Rp 9.000/dolar AS, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 5 persen, dan lifting minyak 930 barel per hari.
Untuk sementara, rakyat bisa bernafas dengan lega dengan keputusan Sidang Paripurna DPR RI yang menunda kenaikan harga BBM yang seharusnya dimulai per 1 April 2012. Namun, sepertinya masih ada kemungkinan harga BBM akan tetap mengalami kenaikan beberapa bulan ke depan jika terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia. (Risma)