Koalisi Berhenti pada Komitmen Saja, Minus Aksi Politik

Jakartakita.Com: Sejauh mana mesin partai politik akan efektif bekerja pada Pemilukada DKI Putaran kedua ini? Hasil riset media yang dilakukan Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) menunjukkan bahwa salah satu kelemahan partai politik adalah kesungguhan untuk menurunkan komitmen dan konsolidasi politik menjadi program aksi. Ini terlihat dari masih minimnya program aksi sebagai kelanjutan dari penggalangan konsolidasi dan komitmen politik pada tingkat partai politik.

“Perspektif analisis media menunjukan bahwa pemberitaan masih banyak didominasi oleh  soal komitmen dan konsolidasi politik koalisi parpol. Hasil riset IMMC  menunjukkan bahwa pemberitaan tentang isu dukungan terhadap Foke-Nara, 38% didominasi oleh soal komitmen politik, 23% konsolidasi politik dan 19% kontrak politik. Sementara program aksi politik hanya 2,4%. Untuk cagub Jokowi-Ahok, pemberitaan tentang komitmen politik 25%, konsolidasi politik 18%, kontrak politik 15% dan program aksi 9%,” demikian disampaikan Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC, dalam rilisnya.

Jadi, lanjut Farid, fokus utama partai politik masih pada penguatan komitmen, konsolidasi dan kontrak politik. Padahal, ketiga hal tersebut tidak akan berdayaguna secara efektif dan efisien, jika tidak ditindaklanjuti dengan program aksi. Yang tersentuh oleh komitmen, konsolidasi serta kontrak politik hanyalah elite partai itu sendiri. Masyarakat pada umumnya, sebagai calon pemilih, tidak merasakan horizon dari komitmen itu.

“Saya kira, jika selama ini banyak dipertanyakan efektifitas mesin politik partai, dalam perspektif tertentu, hasil riset ini membuka sedikit petunjuk. Partai politik sepertinya merasa sudah tuntas tanggungjawab politiknya, ketika sudah mencapai komitmen, konsolidasi dan kontrak politik. Padahal, sebenarnya itu baru step awal. Step selanjutnya yang harus dijalankan adalah realisasi melalui program aksi secara intensif, integrated dan loyal. Agar komitmen itu turun hingga ke level akar rumput. Saya kira, ini yang menjadi salah satu kealpaan kinerja partai: konsolidasi minus aksi,” jelas Farid.

Riset IMMC tentang dukungan parpol Golkar dan Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS) kepada Foke-Nara memperkuat kesimpulan diatas. Dari semua pemberitaan tentang dukungan Golkar pada pasangan Foke-Nara, sebesar 37% didominasi soal komitmen politik, 20% konsolidasi, sementara program aksi hanya 3%. Dukungan PKS pada pasangan Foke-Nara juga didominasi oleh soal kontrak politik (30%) dan komitmen politik (21%). Sementara program aksi hanya 1,8%.

Pasangan Jokowi-Ahok juga mengalami problem serupa. Komitmen, konsolidasi dan kontrak politiknya dengan PDIP dan Gerindra belum diturunkan secara nyata dan efektif dalam bentuk program aksi. Dalam batas tertentu juga masih terkesan elitis.

Riset IMMC juga menunjukkan bahwa para petinggi parpol meningkatkan komunikasi dan statement politiknya.

“Dalam beberapa pekan terakhir ini, banyak dari orang nomor satu di parpol yang intensif memberikan statement politik terkait Pemilukada DKI. Mulai dari Lutfi Hasan Ishaq dari PKS, Taufik Kiemas dan Megawati dari PDIP, Anas Urbaningrum dari Demokrat, Suryadharman Ali dari PPP, dan yang lain. Ini mengindikasikan dua hal. Pertama, salah satu bentuk penegasan komitmen parpol yang mereka pimpin pada kontrak politik yang disepakati. Kedua, sekaligus juga untuk mengantisipasi terjadinya ketidaksolidan pada tingkat akar rumput. Itu penegasan dan peneguhan. Dengan kata lain, ada kekhawatiran bahwa komitmen pada tingkat elite tidak menular pada massa dibawah. Sehingga merasa perlu diteguhkan dengan statement-statement langsung oleh elite parpol,” jelas Farid.

Kekhawatiran itu, lanjut Farid, seharusnya tidak perlu terjadi, jika saja parpol-parpol menindaklanjuti komitmen dan kontrak politiknya pada level program aksi politik.

Menurut Farid, memang ada kemungkinan bahwa program aksi politik tidak terpotret sepenuhnya oleh pemberitaan media. Namun jika merujuk keluhan yang sudah lama muncul tentang lemahnya kinerja mesin politik partai, tampaknya hasil riset ini tentang minimnya program aksi parpol, menunjukkan indikasi yang kuat sebagai salah satu penyebabnya.

Persoalan inilah yang dalam jangka panjang kemudian menyebabkan terjadinya pergeseran dari politik berbasis kekuatan parpol menjadi kekuatan figur. Fenomena ini juga yang menjadi salah satu kesimpulan lain dalam hasil riset media IMMC. Bahwa ternyata pengaruh figur semakin signifikan dan berpengaruh, tidak lagi didominasi parpol.

“Jadi, jika parpol ingin kembali memiliki pengaruh, maka harus ada upaya serius dan keras untuk tidak hanya berhenti pada tataran komitmen, konsolidasi dan kontrak politik,” imbuh Farid.

-Rio Yotto | Jakartakita.Com | IMMC Jakarta

koalisipolitik jakarta
Comments (0)
Add Comment