Netralitas Media Terhadap Isu SARA

Jakartakita.Com: Riset media yang dilakukan Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) menemukan fakta bahwa munculnya black campaign dalam Pemilukada DKI Putaran Kedua ini cukup tinggi. Dari berbagai pemberitaan isu, IMMC mencatat yang bernuansa black campaign sekitar 48%. Jumlah ini lebih tinggi dari isu-isu tentang kegiatan pasangan cagub.

Dari persentase 48% tersebut, 69% menyangkut isu SARA, 19% isu orientasi politik tersembunyi para cagub, dan isu tentang klaim prestasi cagub yang dinilai bohong sekitar 11%. Isu ini mengemuka secara umum dalam seluruh pemberitaan Pemilukada DKI dan sama-sama dirasakan oleh kedua cagub.

Direktur Riset IMMC, Muhammad Farid, menyatakan bahwa fenomena ini sebuah kemunduran dalam proses demokratisasi di Indonesia. Idealnya, kompetisi politik mengarah pada tarung gagasan, visi, program dan strategi kampanye. Bukan justru terjebak pada segmentasi kelompok dan aliran politik.

Farid menilai bahwa dalam kondisi yang tidak produktif seperti itu, harapan besar ada pada peran media. Media adalah salah satu penyangga demokrasi. Media menjadi satu-satunya elemen kebangsaan yang seharusnya berada dalam posisi netral politik. “Media adalah kunci utamanya. Ketika realitas politik berada dalam horizon yang tidak sehat, seperti massifnya black campaign, media adalah harapan penetralisir kekeruhan,” ungkap Farid.

Namun, lanjut Farid, kondisinya akan semakin kompleks, jika media yang diharapkan berperan seperti itu, justru terjebak dalam pengkotak-kotakan politik. Ketika media tidak mampu lagi menjaga batas objektifitas dan netralitasnya, maka demokrasi tidak lagi berjalan pada jalurnya.

“Pada Pemilukada DKI kali ini, isu SARA dan black campaign sangat massif. Menurut saya, beberapa media sudah mencoba untuk mempertahankan prinsip netralitasnya dan objektifitasnya. Walaupun tidak dapat dipungkiri beberapa media juga tergelincir dan terlilit oleh belitan isu black campaign,” jelas Farid.

Untuk itu, menurut Farid, media harus benar-benar memegang teguh tiga mekanisme dasarnya: cek dan ricek, cover both side, dan pemisahan antara opini dan fakta. Hasil riset IMMC menunjukkan bahwa untuk mekanisme cek dan ricek serta pemisahan opini dan fakta, sebagian media sudah mencoba untuk memenuhi standar itu. Namun dalam hal cover both side, beberapa media masih lemah. Padahal, menurut Farid, ini salah satu bagian penting untuk mengantisipasi maraknya black campaign.

“Strategi black campaign akan berhasil dijalankan, salah satunya jika media tidak menggunakan mekanisme cover both sidenya. Pemberitaan menjadi timpang, tidak memenuhi standar netralitas dan objektifitas,” jelas Farid.

Namun, Farid menegaskan bahwa fenomena black campaign ini bisa lolos dari lubang jarum kritisisme media, sehingga berkembang menjadi opini, tidak sepenuhnya menyangkut peran media itu sendiri. “Fenomena sosial media memberikan nuansa lain pada Pemilukada DKI kali ini. Sosial media itu pisau bermata dua. Bisa bermanfaat bagi demokrasi, tapi juga bisa menggerus sendi-sendi penegaknya. Ini konsekuensi dari perkembangn tekhnologi-informasi dan kebebasan berpendapat dan beropini. Ini tak dapat dibendung, kecuali oleh satu hal, yaitu kedewasaan politik masyarakat. Hanya kritisisme masyarakat dalam mencerna informasi yang dapat menyeleksi massifnya serbuan sosial media,” papar Farid.

Menurut Farid, massifnya black campaign pada Pemilukada DKI ini besar disumbangkan oleh sosial media. Ketika black campaign tak dapat menembus saluran-saluran media publik, cetak dan elektronik, maka sosial media menjadi ‘lubang’ alternatif. Dan cara ini akan efektif dan efisien, karena langsung terkoneksi pada subjek-subjek pemilik hak pilih politik.

Menurut Farid, fenomena black campaign pada Pemilukada DKI kali ini menyasar hampir semua kandidat. Sebagian kandidat memang merasa sangat dirugikan oleh black campaign. Namun, lanjut Farid, karena sosial media adalah ‘areal tanpa batas dan rambu’, maka fenomena black campaign ini melebar menjadi polemik publik. Masing-masing pendukung kandidat terjebak pada iklim yang tidak sehat ini.

Pastinya, kata Farid, yang paling dirugikan adalah proses demokratisasi di Indonesia secara umum. Tapi, Farid meyakini bahwa pada perkembangannya nanti, masyarakat akan semakin cerdas dan selektif dalam memanfaatkan sosial media sebagai media ekspresi opini dan aspirasi politik.

-Rio Yotto | Jakartakita.Com | IMMC Jakarta

isu saranetralitas mediapilkada jakarta
Comments (0)
Add Comment