Selamat Tinggal Pesawat Bertarif Murah!

Jakartakita.com – Kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501 seakan membuka mata berbagai pihak tentang industri penerbangan Indonesia. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) seakan ‘kebakaran jenggot’ dengan melakukan berbagai upaya untuk mentertibkan industri penerbangan Indonesia.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan adalah menggelontorkan peraturan tentang pengaturan tarif batas bawah untuk maskapai berbiaya murah atau Low Cost Carrier (LCC). Peraturan yang rencana segera terbit tersebut mengatur tarif batas bawah sebesar 40% dari patokan tarif batas atas. Ini berarti, tidak akan ada lagi tiket pesawat yang ditawarkan atau dijual dengan sangat murah apalagi hanya dijual 0 rupiah.

Kemenhub sebagai regulator memiliki pertimbangan atas pengaturan tarif maskapai berbiaya murah. Pengaturan tarif batas bawah ini dikarenakan adanya pengaruh harga tiket yang murah terhadap faktor keselamatan penerbangan. Perang harga bisa berpotensi memicu maskapai mengabaikan faktor keselamatan.

Sebelum ada aturan ini, sebetulnya Kemenhub memiliki ketentuan tarif batas bawah sebesar 30% untuk maskapai LCC. Namun regulasi ini bisa diperlunak jika maskapai mengajukan usulan harga tiket promosi.

Dengan keputusan tersebut, seolah Jonan merasa bahwa model bisnis LCC yang menekan segala pengeluaran seminimal mungkin juga akan mengancam unsur keselamatan. Tetapi benarkah ada korelasi antara harga tiket murah dan aspek keselamatan?

Sementara itu, konsultan dan pengamat dunia penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, persepsi LCC tidak aman merupakan pendapat yang sudah kedaluwarsa 20-30 tahun lalu.

Menurut Gerry, model bisnis LCC itu menganut prinsip efisiensi dan value added. Dia mencontohkan makanan yang dijual sepanjang penerbangan (onboard meal), layanan bagasi berlebih, memilih kursi, dan prioritas boarding.

Biasanya maskapai LCC hanya menggunakan satu jenis pesawat saja (single fleet type) dalam rangka penghematan biaya perawatan dan suku cadang. Dengan cara ini, mereka dapat menekan biaya investasi untuk pelatihan kru pesawat.

Rencana terbang yang matang (flight plan) dengan mempertimbangkan keadaan cuaca menjadi acuan pilot untuk menekan biaya pengeluaran bahan bakar. Dengan demikian, pilot tidak akan meminta bahan bakar lebih kalau memang tidak dibutuhkan.

Seperti pada maskapai penerbangan AirAsia, maskapai ini justru mendapatkan pemasukan berlebih dari bisnis non-inti (di luar tiket pesawat), seperti penjualan makanan dan minuman (pre-booked meal), bagasi, dan pemilihan kursi. Selebihnya mereka memangkas biaya dengan prinsip efisiensi tanpa mengabaikan keselamatan.

Rasanya tidak bijak kalau kecelakaan Air Asia dijadikan ‘kambing hitam’ dalam industri penerbangan bertarif murah. Kalau LCC ditiadakan, lalu apakah masyarakat berkantong ‘pas-pasan’ tidak boleh terbang?

Air Asiaflight planIgnasius JonanLCC
Comments (0)
Add Comment