Jakartakita.com – Bicara soal kuliner di Ibukota Jakarta, sepertinya tidak akan cukup menulisnya dengan sebuah buku.
Pasalnya, beragam jenis dan rupa serta pesona kuliner Nusantara Raya, dari mulai kelas kaki lima sampai hotel bintang lima, ada di kota metropolitan ini. Kondisi inilah yang menjadikan Jakarta sebagai salah satu destinasi favorit para foodies lover.
Sebagai pembukti, sebut saja satu nama kuliner khas Indonesia, yakni Sate, sebagai salah satu jenis kuliner yang paling sering dijumpai disekitar lingkungan kita. Kuliner sate tersedia baik di area kaki lima maupun bintang lima.
Dan pastinya, setiap orang di Jakarta punya favorit langganan sendiri mengenai kuliner khas yang satu ini.
Bagi penulis sendiri, sate ayam Pak Kholil, yang berlokasi bilangan Darmawangsa Square, persis di pinggir area taman di depan Hotel 101 Dharmawangsa Square, adalah yang paling ‘ajib’ soal kenikmatan rasa di lidah. Tidak peduli, dagangan Pak Kholil yang berada dipinggir jalan raya dan hanya berupa gerobak dorong dengan ketersediaan tempat duduk seadanya.
Beroperasi mulai pukul 6 sore sampai pukul 1 pagi setiap harinya, tanpa mengenal waktu libur, membuat dagangan sate ayam Pak Kholil menjadi kerumunan pelanggannya, saat waktu pulang kerja antara pukul 7-9 malam. Maklum, sebagian besar pelanggannya merupakan karyawan kantor disekitaran area tersebut.
“Sehari minimal 300-an tusuk habis. Harga 1 porsi Rp23 ribu plus lontong,” kata lelaki asal Madura ini, kepada Jakartakita.com, belum lama ini.
Bicara soal rasa, sudah pasti sate Pak Kholil terasa mantap di lidah. Dan ini diakui Pak Kholil disebabkan karena istrinya sendiri yang juga orang Madura, yang memasak dan mengolah bumbu masakannya di rumahnya. Adapun bahan baku daging ayam dan bumbu-bumbu lainnya, dibeli di pasar Kebayoran Lama. Tidak jauh dari tempat tinggalnya, saat ini.
Bapak dari seorang anak, yang mulai berjualan sate di lokasi saat ini sejak tahun 1976 ini, memang ‘dedengkot’ penjual sate di sekitaran area Dharmawangsa Square, yang dulunya bernama Grand Wijaya.
“Saya sudah jualan sate dari jaman daerah ini masih Perumahan Polri. Itu waktu, daerah sini masih sepi sekali. Mobil pun cuma satu dua saja yang lewat,” tuturnya, sambil terus mengipas-ngipas jejeran sate di atas bara api yang terus mengepulkan asap.
Diakuinya, awalnya berjualan sate gara-gara ikut paman yang berjualan sate di Mayestik, Blok M. Tidak jauh dari tempat mangkalnya saat ini.
“Tapi sekarang dia (Paman –Red) sudah almarhum. Saya sendiri, sekarang sudah 55 tahun. Mungkin nanti anak saya yang nerusin dagang disini,” ungkapnya.
Keterbatasan keahlian, diakuinya membuat dirinya hanya fokus pada bidang usaha ini. Dia pun berharap, kedepannya anaknya yang kini berusia 27 tahun mau meneruskan usaha yang sudah dirintisnya sejak lama.
“Ya emang sih enak kalau ramai terus dagangannya. Tapi, kan ramenya malam. Kalau siang, kita tidur. Waktu seperti terbalik dibanding orang normal,” tandasnya, sambil terus sibuk melayani pelanggannya.