Jakartakita.com – Keberadaan kaum Tionghoa telah lama menjadi bagian dari sejarah kota Jakarta. Bahkan jauh sebelum Belanda membangun Batavia, kaum Tionghoa sudah menduduki sebelah timur muara Ciliwung. Namun, setelah terjadinya pembantaian Tionghoa di Batavia pada 9 Oktober 1740, orang-orang Tionghoa ditempatkan di kawasan Glodok dekat Museum Fatahillah dengan maksud agar mudah diawasi.
Kaum Tionghoa juga banyak yang tinggal di pedesaan pelosok Tangerang di luar Pecinan, di Pasar Lama dan Pasar Baru. Pengamat budaya peranakan Tionghoa David Kwa memberi sebutan untuk mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru sebagai Cina Benteng. Kian tahun jumlah penduduk Tionghoa meningkat, begitu akrabnya kaum Tionghoa dengan Jakarta menimbulkan akulturasi kebudayaan dengan budaya Betawi setempat.
Pada kalender Cina terdapat perayaan penting seperti Imlek di hari pertama, Cap Gomeh di hari ke-15, Ceng Beng pada hari ke-60, lalu Peh Cun pada hari ke-100, dan Cit Gwee di bulan ke 7.
Dahulu, hari raya Imlek juga dirayakan dengan sukacita oleh masyarakat Betawi. Tahun 1950-an, masyarakat Betawi tak pernah absen dalam acara arak-arakan keliling setelah menggotong Toa Pekong.
Perayaan Imlek dimulai pada malam sebelumnya, hampir sama dengan malam takbiran orang Islam. Pada malam itu orang Cina pergi soja (membakar hio) sembahyang, dan membeli keperluan Imlek. Biasanya orang Cina yang keluar rumah membeli kembang sedap malam di Pasar Baru Tangerang. Tapi beberapa juga ada yang sembahyang di rumah masing-masing.
Kegiatan di Pasar Baru Tangerang pada malam Imlek sangat ramai dikunjungi orang Cina dan Betawi. Tempat tersebut merupakan pusat kegiatan pasar malam Imlek. Kebanyakan datang untuk membeli kue keranjang, kembang sedap malam, dan Patung Dewi Kwan Im. Selain di Pasar Baru Tangerang juga terdapat tempat lain seperti di Glodok, Mester, Senen.
Pada malam Imlek juga ada tradisi tidak boleh membersihkan rumah mereka karena kalau dibersihkan dulu sebelum Imlek tidak akan dapat rezeki.
Biasanya orang Betawi menghibur orang Cina dengan cara ngamen menyanyikan lagu keroncong, gambang kromong. Setelah menghibur, mereka mendapatkan uang angpao dan kue dodol dari orang Cina. Wilayah arak-arakan terdapat di seluruh wilayah kampung Betawi seperti Mangga Besar, Kwitang, Kota, Kebon Jeruk. Tidak hanya menghibur, orang Betawi juga memberikan ucapan selamat kepada orang Cina yang merayakan.
Pada saat Cap Gomeh, orang Cina pergi soja ke Pekonga alias rumah ibadah Konghucu. Sebelumnya para warga keturunan Cina ini melakukan arak-arakan dari pekong di Mester ke Senen lalu ke Pasar Baru sampai ke pusatnya di Glodok. Orang-orang Betawi pun turut serta dalam hajatan warga keturunan Cina tersebut.
Biasanya dalam arak-arakan tersebut juga turut serta Jeng Ge yang duduk manis di atas tandu. Jeng Ge adalah sebutan untuk wanita cantik pilihan kelenteng yang memakai baju terusan panjang yang mirip baju Timur Tengah, dan berparas cantik lengkap dengan riasan wajah.
Setelah Cap Gomeh, pada hari ke-60 sampai ke-90 diadakan perayaan Ceng Beng. Pada saat Ceng Beng, orang Cina akan ziarah ke kuburan keluarganya. Sedangkan di saat yang sama orang-orang Betawi dan Melayu dipanggil ke rumah orang Cina untuk menangisi arwah leluhur mereka. Biasanya sepulang berdoa, warga Betawi dan Melayu ini akan mendapatkan bingkisan dari orang-orang Cina.
Memasuki hari ke-100, orang Cina akan merayakan Peh Cun. Pada perayaan ini diadakan kegiatan makan bakcang yaitu nasi berbentuk prisma segitiga berisi daging, menggantungkan rumput Ai dan Changpu di depan rumah, dan mandi pada tengah hari. Pada tahun 1950-an Peh Cun juga menggelar pasar malam yang menyediakan jajanan khas Imlek.
Pada bulan ketujuh diadakan Cit Gwe. Cit Gwee adalah perayaan menyambut arwah leluhur orang Cina yang dilepas oleh Dewa Giam Kun selama 15 hari. Orang Cina menyambut arwah dengan cara memberikan makanan di Kali Jodoh Tangerang.
Namun sayangnya, semua tradisi tersebut dilarang keras pada tahun 1958 oleh Surat Keputusan yang dikeluarkan Wali Kota Jakarta Sudiro. Inti surat keputusan itu menyatakan pesta perayaan Imlek dianggap merusak moral masyarakat. Padahal orang Betawi sangat senang dengan perayaan Imlek dan memiliki hubungan harmonis dengan orang Cina.
Kira-kira kemeriahan suasana Imlek pada masa Betawi tempo dulu tergambar jelas dari Novel Remy Silado yang berjudul ‘Ca-Bau-Kan’. Masyarakat pribumi dan keturunan berbaur, suka cita menyambut tahun baru Imlek.