“Kritik sastra harus dimulai dari kampus, karena dalam proses mencipta sang seniman sangat objektif sehingga dibutuhkan akademisi yang mengkritiknya,” kata alumni FIB UI Donny Satryowibowo, biasa dipanggil Romo, dalam acara.
Film pertama yang diputar di hari pertama ialah “K vs K” (Kita versus Korupsi), film yang bercerita tentang korupsi-korupsi kecil yang terjadi di keseharian kita. Disajikan dalam 3 film pendek, dimana bercerita tentang sulitnya sebuah kejujuran dalam hidup.
“Membawa kita dalam keseharian kita, tanpa disadari pun melakukan tindakan korupsi, melakukan kecurangan, berkonflik sama diri kita sendiri, sama batin kita. Kalau kita menggadaikan kejujuran itu, kita akan mendapatkan keuntungan tertentu, tapi kejujuran itu yang nantinya kita bawa mati. Cukup menyentil kesadaran kita, harus menentukan sikap terkait dengan korupsi,” ungkap salah satu peserta acara, Devi Saufa Yardha, mahasiswa Komunikasi FISIP UI.
Film kedua adalah sebuah film monolog berjudul “NAY”, diperankan oleh Sha Ine Febriyanti. Film ini berkisah tentang seorang wanita bernama Nay yang tengah menghadapi kerumitan hidup, yang terungkap kepada penonton dalam perjalanan Nay saat mengendarai mobil. Di perjalanan, Nay harus mengambil keputusan yang penting dalam hidupnya, menyerah pada keadaan atau terus berjuang walau sendirian.
Film yang disutradarai oleh Djenar Maesa Ayu ini sangat menarik perhatian penikmat film, karena film ini tidak ditayangkan di bioskop-bioskop melainkan hanya saat ada acara film atau diskusi film
Untuk acara Selasa (1/3/2016) ini, diadakan diskusi film bersama Djenar Maesa Ayu dan akan diputar film “NAY” dan “Sebelum Pagi Terulang Kembali” dengan tiket dibandrol Rp. 15.000,00 yang bisa langsung dibeli di Auditorium IX FIB UI.
Pemutaran film yang dilangsungkan juga merupakan pre-event sebelum dilangsungkan di Boyolali oleh Layar Nusantara. Layar Nusantara sendiri bergerak pada bidang layar tancep, tapi film yang disajikan ialah film paten (mempunyai izin resmi), dengan Dipo Alam sebagai Program Director dan Gusti Yudha sebagai Digital Busness Director.
Boyolali dipilih karena film bukan hanya untuk kalangan orang elit, seyogyanya semua bisa menikmati, termasuk juga mereka yang berada di daerah. Film bisa menjadi medium edukasi untuk masyarakat secara luas, hingga mendukung kemajuan bangsa. (Indah Purwati)