Jakartakita.com – Diskusi Panel Serial (DPS) ketahanan nasional seri ke 14 tentang ATHG (ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan) dari luar negeri yang digelar Aliansi Kebangsaan pada Sabtu (04/8) lalu di JCC, mengulas tema ‘Revolusi Industri 4.0 Ancaman Nyata Bagi Ketahanan Ekonomi Indonesia’.
Kegiatan ini menghadirkan, pengamat ekonomi, Prof. Firmansyah, SE, MM, DEA, PhD dan pengamat energi, Dr. Dirgo D. Purbo.
Dalam paparannya, Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB, Pontjo Sutowo mengungkapkan, bahwa Indonesia mesti berhati-hati terhadap seluruh potensi faktor non militer yang dapat mencederai ketahanan nasional.
Dia menuturkan, Uni Soviet yang merupakan negara besar di dunia dari sisi militer sekalipun, ternyata runtuh karena faktor non militer.
Berkaca pada hal tersebut, Pontjo Sutowo mengharapkan agar Indonesia berhati-hati terhadap seluruh potensi faktor non militer yang dapat mencederai ketahanan nasional.
“Kondisi ini kiranya harus menjadi perhatian seluruh anak bangsa. Agar bangsa ini tidak mengalami kejadian sejarah yang sama,” jelasnya.
Ditambahkan, kemerdekaan yang telah diraih akan menjadi sia-sia jika kita tidak mampu membangun kedaulatan negara.
Untuk itu, ia berharap agar kedaulatan negara yang diwujudkan dalam kedaulatan energi dan pangan, misalnya, dapat terwujud. Tidak mengalami ketergantungan dengan negara lain.
“Ketergantungan dengan negara lain atas kedaulatan negara, dapat menjadi faktor non militer yang dapat merusak sebuah negara. Hal ini yang harus dihindari,” ucap Pontjo.
Sementara itu, pengamat ekonomi Firmanzah mengungkapkan, kondisi ekonomi Indonesia pada saat ini sedang dalam kondisi tidak bagus. Tahun-tahun politik yang seharusnya mampu menjadi gerbong yang mampu menarik ekonomi ke arah pertumbuhan positif tidak pernah terjadi.
Ekonomi Indonesia bahkan telah larut dengan kondisi ekonomi global. Setiap kenaikan dan penurunan kondisi ekonomi global akan segera berpengaruh bagi Indonesia. Semua itu terjadi karena hutang Indonesia dalam bentuk mata uang asing sangat besar. Sekitar 45% hutang Indonesia dalam mata uang asing. Lebih besar dari negara lain, seperti; Malaysia, India dan sebagainya. Banyaknya hutang dalam mata uang asing yang mendekati Indonesia adalah Filipina.
“Semua itu, menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia sangat rentan. Dengan munculnya Revolusi Industri 4.0, ketahanan ekonomi Indonesia diperkirakan akan semakin sulit bertahan. Jika New Zealand saja sekitar 885.000 tenaga kerjanya (46%) diperkirakan akan menganggur dari sebab Revolusi Industri 4.0, maka bagaimana dengan Indonesia yang saat ini masih memiliki banyak industri padat karya,” terangnya.
Ditambahkan, Revolusi Industri 4.0 memiliki plus dan minus bagi sebuah bangsa. Sebab Revolusi Industri 4.0 hanya untuk negara kaya dan modern.
“Jika bukan itu, maka dapat dikatakan ia hanya akan menjadi sebuah ancaman. Untuk itu Indonesia kini memanggil semua anak bangsa untuk beraksi mengatasi hal tersebut secara bersama dan terintegrasi, agar ketahanan bangsa khususnya ekonomi dapat teratasi,” ujar Firmanzah.
Di tempat yang sama, pengamat energy Dirgo D. Purbo menyatakan, potensi sumber energi Indonesia yang demikian besar seperti minyak, gas alam, batubara dan berbagai raw material lainnya, pada saat ini sayangnya belum dimaksimalkan.
Padahal, konstelasi geopolitik dunia pada abad 21 menempatkan faktor energi menjadi agenda utama kepentingan nasional bagi semua negara-negara maju yang tidak jauh berbeda seperti pada abad 20.
Jika hal tersebut terus berlanjut, jelas dia, dapat dikatakan akan tercipta instabilitas politik yang berimbas pada penurunan ketahanan bangsa.
Untuk itu, sudah saatnya Indonesia memperkuat Energy Security dan memperkuat purchasing power parity.
“Indonesia perlu memperkuat Energy Security dan purchasing power parity serta melaksanakan penjabaran penanganan bidang migas seperti termaktub dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 secara tepat, agar ketahanan nasional Indonesia dapat berjalan lebih baik,” tandas Dirgo. (Edi Triyono)