Komunitas #SaveJanda Dorong Masyarakat Hilangkan Stigma Negatif Kata Janda

foto : ilustrasi (ist)

Jakartakita.com – Postingan Fauzi Baadila di media sosial beberapa waktu lalu dianggap mendiskreditkan para perempuan yang berstatus janda.

Dalam postingannya, Fauzi Baadila melalui akunnya @fauzibaadilla_ menaruh kata janda, sebagai kata teratas yang telah mengganggu hidupnya dengan berbasa-basi dan bergenit-genit ria di pesan pribadinya.

“Tolong untuk para janda2, istri2 orang, ibu2 genit, account2 private..…dengan segala hormat.. gak perlu basa basi dan bergenit-genit ria melalui DM, tolong sadar diri dan tahu diri (lo pikir gue fantasi milik bersama). Harap maklum, terima kasih dan jangan baper…,Apabila masih tetap DM, gue block,”.  Demikian tulis Fauzi Baadila.

Sebagai publik figur yang memiliki 417.000 pengikut di akun media sosial, sadar tidak sadar, Fauzi dianggap oleh komunitas #savejanda akan membuat stigma negatif terhadap kata janda.

Menurut Myrna Soeryo selaku Praktisi Humas yang juga pendiri komunitas #SaveJanda, hal tersebut tentu memicu kekecewaan para janda. Karena tidak semua janda berperilaku genit dan menggoda.

“Sangat memprihatinkan jika seorang publik figur menuliskan kalimat yang justru semakin menguatkan stigma negatif janda. Padahal kata janda hanya sebuah status yang bisa menimpa siapa saja seperti halnya duda,” kata Myrna dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (16/6).

Menurut Myrna, seiring dengan suburnya budaya misogini serta sistem sosial patriarki, maka kata janda cenderung lebih banyak ditempelkan dengan kata-kata yang menimbulkan stigma negatif dibandingkan dengan kata duda.

“Berdasarkan data dari mesin pencarian Google, dalam waktu hanya 0.49 detik, ada 31.800.000 pencarian terhadap kata janda. Suatu angka pencarian yang fantastis sehingga membuat banyak artikel di media daring menggunakan kata janda sebagai judul artikel,” kata Myrna.

“Judul-judul artikel yang bombastis menggunakan kata janda seperti cium janda 1 menit, janda muda tewas, janda satu anak menangis di KUA, mantan suami kepicut janda muda dan lain-lain, makin mengukuhkan stigma negatif terhadap kata janda,” terang Myrna.

Tak hanya itu, lanjut Myrna, di dunia pemasaran, banyak kata janda dipakai hanya untuk mendatangkan banyak pelanggan dan mengundang rasa ingin tahu orang pada produk atau jasa tertentu saja.

Seperti beberapa usaha kuliner yang menulis kata janda sebagai merek usahanya. Juga pernah ada perusahaan properti yang mencantumkan kata janda di brosur pemasarannya yang sebenarnya hanya merupakan sebuah akronim dari hadiah-hadiah yang akan diberikan si pengembang bila ada pembeli properti baru.

“Ironis memang. Kata janda telah diperjual belikan sedemikian rupa hanya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu tanpa mengindahkan bagaimana pembentukan opini negatif terhadap kata janda. Dan ini terus berlangsung,” terang Myrna.

Lebih jauh Myrna mengatakan, kata janda genit, janda gatal, janda perebut laki orang, hanyalah sebagian kata-kata yang kerap kita dengar mengenai status janda.

Padahal, menurut Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2019, terdapat 485.223 janda cerai baru. Hal ini berarti ada sebanyak 485.223 janda yang bisa mendapat stigma negatif atas status baru mereka sebagai seorang janda.

Sementara itu, Firliana Purwanti sebagai seorang politisi pemerhati isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak mengungkapkan, bahwa para korban perempuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), 70 persennya memilih untuk kembali ke pernikahan toksik mereka.

Mereka memilih untuk kembali berada di lingkaran setan tersebut dengan alasan ekonomi, anak, termasuk karena takut diberikan label status baru: janda.

Dikatakan Firliana, banyak janda yang akhirnya memilih untuk disebut dengan julukan orang tua tunggal atau menyembunyikan status barunya, karena takut dipandang oleh masyarakat luas secara negatif.

“Sebenarnya sangatlah salah pandangan yang menganggap bahwa janda cerai kurang terhormat daripada janda yang ditinggal meninggal oleh suaminya. Justru para janda cerai harus memberikan apresiasi kepada diri mereka sendiri karena berhasil dan berani keluar dari pernikahan toksik atau pernikahan yang kurang menyenangkan,” ujar Firliana.

Di sisi lain, banyak janda yang sebenarnya sukses meniti karir atau membangun kerajaan bisnis mereka. Ada Jamie Chua di Singapura yang sukses menjadi persona di media sosial sekaligus berbisnis kecantikan. Ada juga MacKenzie Bezos yang merupakan salah satu pemegang saham Amazon dan merupakan seorang penulis buku dan banyak lagi kisah sukses lainnya dari seorang janda.

Sayangnya, kisah sukses para janda ini sepertinya kurang menarik bila dijual ke media dengan menggunakan judul tulisan yang positif seperti janda sukses atau memang tidak akan menarik jumlah pembaca yang besar. Karenanya kata janda masih lekat dengan stigma negatif.

Lalu, sampai kapan kita akan melekatkan kata janda dengan kata-kata lain yang berkonotasi negatif?

“Mengutip kalimat filsuf Plato, jangan pernah mematahkan semangat kepada siapapun yang terus membuat kemajuan, tidak peduli seberapa lambat, maka sudah tugas kita sebagai sesama manusia untuk tidak turut serta dalam mematahkan semangat para janda yang melanjutkan hidup dengan turut memberikan cap negatif kepada mereka,” ungkap Myrna.

“Hidup sebagai seorang janda tidaklah mudah. Mereka harus mampu tetap menjadi seorang ibu (bila memiliki anak) sekaligus kebanyakan janda juga menjadi tulang punggung keluarga. Mereka harus berjuang untuk dapat menghidupi anak-anak atau keluarga mereka secara layak sambil tetap memberikan pengasuhan yang benar,” tutur Myrna.

Menurut Myrna, membebani mereka dengan cap atau cara pandang yang negatif, tentu akan membuat beban moral mereka akan semakin berat dalam menjalani hidup. Hal ini juga tentunya, kelak akan mempengaruhi psikis dari anak-anak para janda tersebut.

Jadi, sudah siapkah kita melepas stigma negatif terhadap kata janda? (Edi Triyono)

#SaveJandabudaya misoginiFauzi BaadilajandaKomunitas #SaveJandaMyrna Soeryosistem sosial patriarkistatus janda
Comments (0)
Add Comment