Waspada, Penyakit Autoimun Radang Usus (IBD) Mengintai Anak

foto : ilustrasi (ist)

Jakartakita.com – Sabtu, 11 September 2021, Marisza Cardoba Foundation (MCF) bersama Darya Varia Laboratoria menggelar webinar umum dengan tema “Mengenal Inflammatory Bowel Disease (IBD) Pada Anak”. 

Dewan Pakar Medis MCF, Prof.Dr.dr. Zakiudin Munatsir SPA(K) yang menjadi narasumber medis pada kegiatan tersebut mengatakan, Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah salah satu dari 100 jenis penyakit autoimun yang menggambarkan kelainan yang berhubungan dengan peradangan pada saluran pencernaan atau gastrointestinal, khususnya kondisi radang usus karena autoimun.

Sementara penyakit autoimun merupakan suatu kondisi dimana sistem kekebalan tubuh atau sistem imun menyerang tubuh sendiri.

“IBD terdiri dari dua jenis penyakit yaitu Penyakit Crohn (PC) dan Kolitis Ulseratif (KU). KU adalah peradangan kronis pada lapisan terdalam usus besar atau kolon, sedangkan PC yang juga dikenal sebagai Crohn’s Disease, merupakan peradangan yang terjadi di seluruh sistem pencernaan, mulai dari mulut hingga ke dubur,” jelasnya seperti dilansir dalam siaran pers, Sabtu (11/9).

Lebih lanjut Prof. Zakiudin Munatsir menjelaskan, “Pada orang dengan KU maupun PC, seringkali muncul bisul di saluran usus. Bisul adalah robekan atau robekan pada lapisan usus yang dapat menyebabkan rasa sakit atau pendarahan.”

Menurut dokter yang juga aktif membina belasan ribu Orang Dengan AutoImun (ODAI) di MCF ini, penyebab pasti terjadinya peradangan gastrointestinal tersebut belum diketahui, namun diduga terkait dengan gangguan sistem kekebalan tubuh. IBD pada anak dapat terjadi karena ada bakat genetik yang dicetuskan oleh faktor lingkungan misalnya infeksi dan lain-lain.

Menurut Prof. Zakiudin Munatsir, PC dan KU memiliki banyak gejala yang sama, mungkin sulit untuk mengetahui kondisi yang diderita seorang anak.

Mendiagnosis penyakit ini memerlukan beberapa tes.

Yang pertama adalah tes darah untuk memeriksa kondisi seperti anemia (hemoglobin rendah), protein darah rendah (albumin), atau bukti peradangan di suatu tempat di tubuh (peningkatan protein C-reaktif, tingkat sedimentasi/ laju endap darah, atau jumlah sel darah putih. 

Tes kedua adalah adalah tes/studi tinja untuk memeriksa infeksi, darah dalam tinja, atau penanda peradangan di usus.

Tes ketiga dilakukan pencitraan kondisi perut dengan CT enterography (CTE) atau MR enterography (MRE) untuk mencari peradangan, pembengkakan atau penyempitan usus. Ini juga melihat area di perut di luar usus untuk komplikasi IBD. Sebuah MRE memiliki keuntungan yang menggunakan magnet, bukan radiasi, untuk mengambil gambar. Endoskopi bagian atas dan kolonoskopi penting untuk dilakukan, yakni dengan cara menelan atau menempatkan kapsul video selama endoskopi atas untuk melihat lapisan usus kecil dengan tabung fleksibel dan kamera, dilanjutkan dengan biopsi untuk memeriksa lebih lanjut sampel jaringan di bawah mikroskop.

“Pada kasus dengan gejala berat yang tidak kunjung membaik, dibutuhkan tindakan operasi sesuai dengan jenis radang yang dialami pasien, seperti proktokolektomi yaitu pengangkatan seluruh usus besar pada kasus KU berat, atau pengangkatan sebagian saluran pencernaan yang rusak pada kasus PC,” jelas Prof. Zaki.

Untuk mencegah terjadinya IBD pada anak, Prof. Zaki menekankan pentingnya menjaga pola hidup sehat, diantaranya: 

1.Menerapkan pola makan gizi seimbang

Pilih sumber makanan sehat, bernutrisi utuh (minim proses), dan alami (bebas zat artifisial seperti pengawet, pewarna, penyedap, dan sebagainya), serta bebas gluten. Dukungan nutrisi yang agresif dapat meningkatkan parameter pertumbuhan pada pasien anak dengan IBD . Semua anak dengan IBD membutuhkan penilaian dan dukungan nutrisi yang tepat untuk meminimalkan keterbelakangan pertumbuhan akibat kekurangan gizi.  Selama eksaserbasi akut IBD, nutrisi parenteral mungkin diperlukan tetapi memiliki kelemahan terkait menjadi lebih invasif dan lebih mahal. Pasien IBD juga berisiko kekurangan  vitamin dan mineral, termasuk zat besi, kalsium, vitamin D, vitamin B12, dan asam folat. Suplemen kalsium merupakan  cara terbaik untuk mencegah penyakit tulang.

2.Olah raga rutin dan istirahat cukup dapat mengembalikan fungsi normal usus dan juga mengurangi stres.

3.Komunikasi positif dan mendukung dalam keluarga

Anak dengan kasus IBD rentan mengalami stres psikososial yang signifikan, masalah emosional dan perilaku, serta perubahan gaya hidup yang tak terduga karena kekambuhan. Juga dapat terjadi kesulitan berinteraksi dengan teman sebaya dapat diakibatkan oleh ketidakhadiran di sekolah dan dapat diperparah oleh harga diri yang rendah karena pertumbuhan dan perkembangan yang tertunda. Oleh karena itu bertukar pikiran saling berbagi pengalaman buat mengatasi masalah ini sangat diperlukan selain mungkin harus konsultasi ke psikiater atau psikolog.

4.Bangun kebiasaan menulis jurnal harian

Kenali pencetus kekambuhan gejala IBD dengan mencatat semua kegiatan/asupan yang dirasakan nyaman atau tidak nyaman. Hindari yang menyebabkan timbul reaksi tidak nyaman.

5.Rutin berobat ke dokter 

Kondisi kesehatan harus selalu terpantau. Jika terjadi infeksi harus diobati tuntas. 

“Orang tua diharapkan memperhatikan dan berhati-hati jika anak-anak mengalami keluhan sakit perut disertai rasa mual dan kondisi fisik yang melemah guna mewaspadai terjadinya IBD pada anak dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang yang permanen,” tandas Prof. Zakiudin Munatsir.

Darya Varia LaboratoriagastrointestinalInflammatory Bowel DiseaseInflammatory Bowel Disease (IBD)Kolitis Ulseratif (KU)Marisza Cardoba Foundation (MCF)Orang Dengan AutoImun (ODAI)penyakit autoimunPenyakit Crohn (PC)Prof.Dr.dr. Zakiudin Munatsir SPA(K)radang usus karena autoimunsistem imun menyerang tubuh sendirisistem kekebalan tubuh
Comments (0)
Add Comment