Menyibak Sejarah Topeng Monyet
Jakartakita.com: Pada bulan Oktober 2013, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi menargetkan ‘Jakarta bebas topeng monyet pada 2014’. Selain karena alasan untuk menghindari penularan penyakit rabies dari monyet ke manusia, Jokowi juga beralasan, permainan topeng monyet tidak ‘berperikebinatangan’. Karena di balik pertunjukan topeng monyet yang menghibur, ada penyiksaan binatang yang dilakukan sang pawang atau pemilik monyet.
Agar bisa berjalan tegak, tangan monyet muda yang biasanya berusia 8 bulan ini diikat ke belakang, digantung dan dipaksa duduk berjam-jam di jalan. Seringkali pemilik sengaja tidak memberikan makan agar monyet ma uterus berlatih. Makanya tak heran, jika ada banyak monyet yang mati karena tidak kuat.
Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, Jokowi memerintahkan petugas Satpol PP untuk merazia para ‘tukang topeng monyet’ yang berkeliaran di jalan. Pemprov DKI menawarkan uang sebesar Rp 2 juta sebagai uang kerahiman kepada para ‘tukang topeng monyet’. Nantinya monyet-monyet tersebut akan ditampung di Taman Margasatwa Ragunan bersama ratusan monyet lainnya.
Terlepas dari pro dan kontra penerapan kebijakan razia topeng monyet, ada baiknya kita menelaah sejenak tentang sejarah panjang pertunjukan topeng monyet atau ‘ledhek kethek’ yang juga dapat dijumpai di negara lain, seperti; India, Pakistan, Thailand, Vietnam, Cina, Jepang dan Korea.
Menurut beberapa sumber, topeng monyet sudah ada sejak awal abad 19. Matthew Isaac Cohen, seorang professor budaya teater Indonesia dari Royal Holoway University of London, menyebut topeng monyet sebagai pertunjukan yang menampilkan monyet dan anjing yang direproduksi Indonesia.
Miniatur sirkus ini merupakan salah satu hiburan mengamen paling pepuler di pasar-pasar, jalan pedesaan, dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Pertunjukan ini menjadi umum pada awal 1890-an. Cohen menjelaskan, atraksi monyet dan anjing ini terkait dengan perkembangan seni pertunjukan komersial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19.
Kala itu, pertunjukan topeng monyet banyak dinikmati oleh anak-anak, baik pribumi maupun Belanda dan Eropa. Hal ini bisa dilihat dari foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda.
Foto tahun 1900-1920 ini memperlihatkan seorang dalang Arab dengan dua monyetnya yang dirantai. Foto diambil oleh Charles Breijer anggota de Ondergedoken Camera atau persatuan juru foto Amsterdam yang bekerja sebagai juru kamera di Indonesia dari 1947 sampai 1953. Dia kerap membuat foto kehidupan sehari-hari.
Seiring berjalannya waktu, kesenian topeng monyet ini berkembang di Jawa Barat dan Jawa Timur. Menurut beberapa peneliti budaya, pertunjukan ini sangat jarang ditemukan di luar Pulau Jawa.Topeng monyet nyaris tersingkirkan pada dekade 1980-an. Namun kembali muncul beberapa tahun kemudian, terutama di Kota Jakarta. (Risma/berbagai sumber)