Pasar Senen dalam Kenangan
Kebakaran yang terjadi di Proyek Pasar Senen Blok B-3 hari ini, Jumat (25/4/2014) membuat kenangan saya akan Pasar Senen. Entah kapan terakhir kali saya menjejakkan kaki di Pasar Senen. Saya lupa!
Maklum, Pasar Senen bukanlah ‘daerah jajahan’ saya yang kebetulan tinggal di Selatan Jakarta. Terlalu jauh untuk dicapai. Dan lagi, tak cukup alasan saya untuk mengorbankan waktu saya hanya untuk menjelajah Pasar Senen demi membeli sesuatu. Ada banyak pilihan pasar tradisional dan modern yang bisa saya sambangi di Selatan Jakarta.
Terkadang saya memang masih berkeliaran di Pasar Tanah Abang, namun hanya untuk momen tertentu saja yang mengharuskan saya untuk berbelanja dalam jumlah besar. Itupun karena Pasar Tanah Abang walaupun di Pusat Jakarta, masih amat terjangkau dari rumah saya di bilangan Bintaro. Cukup ditempuh dengan satu rute kereta Sudimara-Tanah Abang.
Pusat barang-barang bekas impor dan buku-buku adalah hal yang paling saya ingat dari Pasar Senen. Hampir 14 tahun lalu, Pasar Senen menjadi salah satu tujuan saya berburu buku-buku kuliah. Buku bekas ataupun buku bajakan adalah salah satu komoditas yang laris manis di Pasar Senen. Bagi saya yang mahasiswa ‘kere’, rasanya Pasar Senen adalah surga berbelanja buku. Tak cukup uang saya untuk membeli buku-buku teks kuliah yang tebal-tebal di toko buku ber-AC.
Dan Pasar Senen adalah dewa penolong saya. Kalau beruntung, saya bisa mendapatkan buku teks asli berbahasa Inggris. Rasanya seperti mendapat ‘doorprize’dengan uang pas-pasan tetapi bisa memiliki buku bersampul tebal asli berbahasa Inggris.
Dua atau tiga kali saya juga pernah berburu barang bekas di Pasar Senen.Adalah satu kesenangan tersendiri saat saya bisa menemukan harta di balik tumpukan barang yang dianggap sampah oleh banyak orang. Aneka barang vintage berkualitas berserakan di sana. Saya hanya perlu kesabaran untuk menemukannya.
Dan beberapa kali saya bertemu pembeli barang bekas di Pasar Senen yang ternyata adalah artis ngetop. Walau dia sudah berdandan selusuh mungkin, tetap saja saya dan beberapa pedagang tidak bisa dibohongi. Si artis pun asyik menemukan harta karun di antara tumpukan ‘sampah’ untuk keperluan manggung.
Soal harga, tentu saja lebih murah dibanding beli barang baru berkualitas di pusat perbelanjaan. Namun sedemikian tenarnya pusat barang bekas Pasar Senen, membuat para pedagang biasanya menawarkan dengan harga yang cukup tinggi. Butuh keberanian dan tekad baja untuk menawar dari pedagang yang mayoritas berasal dari Batak.
Percaya atau tidak, ‘taste’ seseorang juga mempengaruhi hasil buruannya. Bagi mereka yang tidak punya ‘taste’ yang bagus. Maka hasil buruannya benar-benar barang bekas yang tak bernilai.
Jangan heran bila berbelanja berkelompok, pulangnya hasil buruan akan beragam. Ada yang benar-benar ‘worth’ ada yang sampah. Mereka yang memang sudah ‘stylish’, matanya akan jeli melihat harta karun di antara tumpukan sampah.
Saya tidak pernah melirik baju bekas apalagi pakaian dalam bekas. Biasanya saya berburu ‘coat’. Ada juga tas kulit, ikat pinggang kulit dan bahkan sepatu boot kulit. Hasil buruan saya kebanyakan sudah melanglang buana dan sebagian malah sudah berpindah tangan, berubah menjadi lembaran uang berkali lipat dari saya beli.
Tahukah Anda, kalau sebenarnya Pasar Senen telah melewati sejarah yang cukup panjang. Sejarah Senen diawali dengan dibukanya Pasar Senen oleh Yustinus Vinck pada tahun 1733. Selain Pasar Senen, Vinck juga membuka Pasar Tanah Abang. Dua tahun berikutnya ia menghubungkan kedua pasar tersebut dengan sebuah jalan, yang sekarang disebut Jl. Prapatan dan Jl. Kebon Sirih yang juga merupakan jalur penghubung timur-barat pertama di Jakarta Pusat kini.
Pada awal abad ke-20, Senen telah menjadi jantung ibu kota dengan denyut perdagangan yang tak pernah berhenti. Berbagai toko besar dan terkenal kemudian banyak berdiri disepanjang kawasan ini seperti yang ada di Jalan Kramat Raya, Jalan Kramat Bunder, Jalan Senen Raya dan juga Jalan Kwitang. Di Jalan Kramat Raya terdapat rumah makan yang sangat terkenal dengan nama Padangsche Buffet.
Kemudian di Jalan Kenanga ada toko sepeda bernama Tjong & Co. Di Jalan Kwitang ada Toko Buku Gunung Agung, serta di Jalan Kramat Raya ada bioskop yang cukup terkenal bernama Rex Theater dan Rivoli Theater.
Kemudian di Pasar Senennya ada Djohan Djohor yang dimiliki oleh saudagar Minangkabau yang banyak dikenal oleh para konsumennya karena selalu memberikan potongan harga. Pokonya ada banyak toko-toko yang menyediakan berbagai jenis barang untuk dibeli.
Setelah zaman kemerdekaan hingga tahun 1975, Senen menjadi pusat perdagangan terkemuka di Jakarta. Pada tahun 1974 terjadi tragedi Malari yang memporakporandakan Pasar Senen. Mahasiswa pada saat itu, marah atas kebijakan ekonomi Indonesia yang bergantung pada Jepang. Dan Pasar Senen merupakan simbol dari penjualan produk-produk Jepang.
Pada periode 1960-1970, beberapa toko tersebut telah lenyap atau berubah kepemilikan. Pada masa kepemimpinan Ali Sadikin, pemerintah melakukan revitalisasi kawasan Senen, dengan membangun Pusat Perdagangan Senen atau yang lebih dikenal dengan Proyek Senen. Pembangunan Proyek Senen diikuti dengan pasar inpres dan Terminal Senen. Melengkapi Proyek Senen, pada tahun 1990 dibangun pula super blok modern, Atrium Senen.
Dalam perkembangannya Pasar Senen banyak dipadati oleh para pedagang informal atau biasanya disebut dengan pedagang kaki lima (PKL). Para PKL tersebut banyak berjualan disepanjang Jalan Kwitang dan Jalan Kramat.
Jalan Kwitang merupakan pusat penjualan buku bekas di Jakarta, dan di Jalan Kramatnya merupakan pusatnya para pedagang Minangkabau yang menjual aneka penganan. Demikian juga dengan kawasan Poncol Senen yang juga banyak disesaki oleh para PKL yang menjual aneka barang selundupan.
Kawasan Senen juga ternyata tak hanya terkenal sebgai sentralnya penjualan barang-barang bekas namun juga terkenal sebagai basecampnya para seniman jalanan. Pada dekade 1930-an kawasan ini banyak didatangi oleh anak-anak muda kalangan mahasiswa, para aktifitas atau pejuang-pejuang bawah tanah dari berbagai daerah di tanah air.
Para seniman pembuat puisi, penulis cerita dan lainnya juga ternyata ikut meramaikan Senen yang pada akhirnya mereka disebut dengan Seniman Senen. Mungkin Anda akan kaget kalau seniman sekelas Chairil Anwarpun ternyata dibesarkan di Senen ini.
Apakah Anda tahu nama seorang seniman besar Indonesia lainnya Djamaluddi Malik? Seniman ini juga tumbuh dan besar di kawasan Senen. Ia terkenal sebagai seorang yang dermawan dan menjadi raja seniman Senen.
Tak hanya itu beberapa seniman beken lainnya juga banyak yang ‘besar’ di kawasan Senen ini seperti Misbach Yusa Biran, Usmar Ismail, Delsy Syamsumar, Soekarno M Noer, Sobron Aidit, Wim Umboh dan Wolly Sutinah, dan masih banyak lagi.
Mengapa kawasan Senen ini kemudian yang dipilih oleh mereka sebagai tempat berkumpul, belajar sekaligus berkarya? Karena memang kawasan ini dekat denagn studio film Golden Arrow dan juga Gedung Kesenian Jakarta.
Tak hanya itu, dari kawasan ini juga siapapun bisa mencapai kawasan Jakarta dengan sangat mudahnya dan berbiaya murah karena bisa dikatakan kawasan ini merupakan pusatnya Jakarta. Dimasa tahun 1950-an tempat yang menjadi favorit bagi mereka ialah Masakan Padang Ismail Merapi.
Pada tahun 1968, gubernur Jakarta Ali Sadikin meresmikan Taman Ismail Marzuki dan kemudian mendirikan Institut Kesenian Jakarta. Selain sebagai obyek wisata, tempat ini juga diperuntukkan bagi para seniman yang hendak mengembangkan bakat dan kemampuannya. Sejak saat itu, maka mereduplah nama besar Seniman Senen. Kini Cikini dengan Taman Ismail Marzuki-nya, telah menggantikan Planet Senen sebagai tempat pembiakan para seniman muda.
Kebakaran Pasar Senen hari ini, Jumat (25/4/2014) menyisakan tanda tanya besar. Adakah unsur kesengajaan di dalamnya? Mengingat beberapa hari sebelum terjadi kebakaran, para pedagang masih alot menentukan harga tebus yang diajukan oleh PD Pasar Jaya. Entahlah…
Pasar Senen menyimpan sejarah panjang yang tak bisa begitu saja dilupakan. Semoga revitalisasi Pasar Senen mampu menyemarakan deru kehidupan Pasar Senen yang sudah mulai meredup digilas persaingan peritel yang menjajah bumi pertiwi. Apalagi kondisi Pasar Senen sebelum kebakaran memang sebenarnya sudah sangat memprihatinkan. (Risma)