Mengapa Harus Kartini?
Hari ini (21/4/2015), 136 tahun lalu lahirlah seorang Kartini yang dianggap sebagai tokoh wanita pengusung emansipasi wanita. Begitu istimewanya Raden Ajeng Kartini, hingga hari lahirnya setiap tahun selalu diperingati oleh seluruh warga Indonesia. Tak hanya sekedar dijadikan hari khusus setiap tanggal 21 April. Sejumlah seremonial simbolis pun menjadi bagian dari peringatan ini. Dari pawai keliling anak-anak yang berpakaian adat nasional, lomba kebaya, lomba memasak, dan lain-lainnya.
Seminar seputar peran serta perempuan di era modern yang katanya terinspirasi oleh perjuangan Kartini pun selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap peringatan. Kartini pun menjadi simbol dari sebuah pergerakan feminisme. Entah apakah mereka tahu apa sebenarnya arti feminisme. Apakah demikian yang dicita-citakan seorang Kartini?
Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara. Lahir sebagai perempuan dari kalangan ningrat yang merupakan keturunan dari Hamengkubuwono VI, ternyata tidak membuat Kartini mudah mengenyam pendidikan tinggi.
Sampai usia 12 tahun, Kartini memang diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Tetapi setelah usia 12 tahun, sama seperti kebanyakan perempuan Jawa saat itu. Kartini harus dipingit hingga datang seorang pria yang kelak bakal memperistrinya.
Sebagai perempuan cerdas yang sempat mengenyam bangku sekolah. Jiwanya pun berontak. Kartini merasa bahwa adat telah membuatnya terpasung. Padahal apa salahnya jika perempuan memiliki pendidikan tinggi?
Hidup dalam pingitan tidak membuat semangat Kartini untuk maju menjadi melempem. Kartini yang haus akan pengetahuan pun mengisi hari-harinya yang sepi dengan banyak membaca buku, surat kabar, dan majalah berbahasa Belanda. Kartini juga sering berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya yang tinggal di negeri Belanda, Stella Zeehandelaar, Nyonya Abendanon, dan Ny. Van Kool. Semakin bertambah pengetahuannya, timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Karena Kartini dipaksa orang tuanya menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah memiliki tiga istri. Kartini akhirnya menikah pada tanggal 12 November 1903. Untung saja suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Namun sayang usia Kartini tidaklah panjang. Kartini akhirnya menutup mata pada tanggal 17 September 1904 pada usia 25 tahun, 4 hari setelah dirinya melahirkan anak pertama sekaligus anak terakhirnya R.M. Soesalit. Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912 dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah ‘Sekolah Kartini’. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh politik etis di zaman Belanda.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Namun, belakangan muncul pro kontra mengenai mengapa Kartini sebegitu istimewanya dibandingkan pahlawan perempuan lainnya, hingga hari lahirnya masih diperingati hingga sekarang. Lalu apa bedanya Kartini dengan perempuan-perempuan galau zaman sekarang yang hobi curhat di media sosial?
Yah, tak dapat dipungkiri kalau Kartini bukan siapa-siapa. Kalau saja Abendanon tidak membukukan surat-surat Kartini yang menyiratkan kegalauan luar biasa tentang nasibnya sebagai perempuan Indonesia, Kartini hanyalah perempuan yang pasrah pada suratan takdir menjadi perempuan dan terbelakang.
Kartini memang berbeda. Ia melawan dalam diam. Ia tidak berjuang dengan senjata atau bermandikan darah, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya. Ia hanya mampu melawan dengan ujung penanya. Usaha kongkrit yang dilakukannya adalah membuat sekolah kecil agar perempuan-perempuan yang tinggal di sekitarnya dapat mengenyam pendidikan dasar walaupun hanya untuk sekedar baca-tulis.
Banyak pahlawan perempuan yang mati dalam medan pertempuran demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun yang berjuang untuk nasib perempuan sendiri hanya sedikit. Sejarah mencatat, bahwa Kartini-lah yang pertama kali memikirkan nasib kaum perempuan pada zaman itu. Ingat! pada masa Kartini hidup belum ada organisasi yang mampu mewadahi kaum pribumi untuk melawan penjajah dalam ranah intelektualitas. Budi Utomo sebagai organisasi pertama bumiputera lahir empat tahun setelah Kartini wafat. Maka Kartini sudah tentu tidak punya wadah untuk melawan sistem yang ada. Ia hanya mampu menuliskan kegelisahan dan pemikirannya yang melahirkan gagasan-gagasan hebat bahwa pendidikan adalah kunci bagi majunya sebuah bangsa.
Kartini mengajarkan kita melawan dengan cara lain. Ya, Kartini seakan ingin mengatakan kepada dunia bahwa lewat tulisan pun orang bisa berjuang. Kartini berjuang sesuai kodratnya sebagai perempuan yang lembut. Dia memilih menulis di dalam kamarnya bukan mengangkat senjata seperti kaum pria. Bahkan dahulu pun Kartini sudah berpikir, kalau perempuan dan pria sama-sama keluar rumah, lalu siapa yang menjaga rumah, membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Di masa perjuangan, apa saja bisa terjadi. Ayah dan ibu yang terjun ke medan pertempuran bisa saja pulang tinggal nama, lalu kemanakah anak-anak harus berlindung. Dan siapakah yang akan menyiapkan mereka menjadi pejuang tangguh di masa depan kalau bukan ibu?
Dalam tulisannya, Kartini sama sekali tidak hendak menuntut persamaan hak dan kewajiban perempuan dengan pria. Beliau hanya ingin kaum perempuan juga terdidik, karena dari tangannya lah anak-anak bangsa akan lahir.Para perempuan lah yang bertanggung jawab mendidik anak-anak mereka sebelum menyerahkannya kepada sebuah sistem di luar sana.
Tak dapat dipungkiri kalau pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Salah satunya mengilhami WR. Soepratman untuk mencipta lagu ‘Ibu Kita Kartini’.
“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Kartini memilih media tulisan untuk mewariskan pemikiran-pemikirannya sebagai inspirasi generasi penerus bangsa terutama kaum perempuan.
Bukan salah Kartini jika banyak perempuan yang menyalah-artikan pemikirannya secara berlebihan sebagai simbol feminisme. Toh, Kartini tetap menikah, hamil dan melahirkan. Walau ajal keburu menjemput sebelum Kartini sempat mengasuh dan mendidik anaknya.
Selamat Hari Kartini, 21 April 2015