Kampung Pulo Dalam Kenangan
Jakartakita.com – Warga Kampung Pulo kini sudah direlokasi di rusunawa milik Pemprov DKI. Meski hunian mereka kini jauh lebih layak dari permukiman mereka dahulu di Kampung Pulo. Namun, bagi mereka yang sudah menghuni Kampung Pulo sejak lama akan sulit melupakan kenangan indah di Kampung Pulo.
Tahukah Anda, kalau ternyata jauh sebelum Republik Indonesia ini berdiri. Ribuan warga asli telah menghuni Kampung Pulo. Bahkan menurut sejarah, penduduk di Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, sudah ada pada tahun 1700-an.
Kebanyakan penghuni Kampung Pulo pada awal abad 20 adalah suku Betawi asli, sisanya adalah warga Betawi keturunan Cina dan Arab. Para pendatang dari daerah ‘Kulon’, Bogor dan sekitarnya baru menghuni sejak tahun 1970-an.
Pada zaman kolonial, Kawasan Kampung Pulo menjadi bagian dari Meester Cornelis . Kampung seluas 8.575 hektar tersebut memiliki akar dan nilai sejarah antopologi kultural yang kuat.
Awalnya Kampung Pulo adalah hutan terpencil. Kampung Pulo yang berada di pesisir sungai Ciliwung merupakan tempat pelarian para pejuang. Karena daerah ini tertutup makanya sangat aman untuk tempat sembunyi.
Baru kemudian pada awal tahun 1900, sebagian wilayahnya dibuka oleh lima bersaudara (Aril, Rihen, Bandan dan kedua saudaranya yang belum diketahui namanya) yang diberi wewenang oleh kolonial Belanda berupa dua surat Verponding untuk menjadi tuan tanah yang menarik pajak pada para pemukim.
Semenjak itu, Kampung Pulo berubah menjadi pusat perniagaan di Timur Batavia. Bayangkan saja, di dekatnya terdapat pasar skala regional yakni, Pasar Jatinegara dan juga Stasiun Kereta Api Jatinegara yang membuat pertumbuhan ekonomi di Batavia saat itu lebih cepat.
Keberadaan sejumlah situs budaya religi dan tipologi arsitektur bangunan tempo dulu juga menjadi kekhasan Kampung Pulo.
Sejumlah makam kuno yang terdata di antaranya adalah makam Kyai Lukmanul Hakim/Datuk (sebelum 1930), makam Habib Said (sebelum 1930) yang masih ada hubungan keluarga dengan makam di Luar Batang, serta makam Kyai Kashim (sejak 1953).
Konon sejak dahulu warga Kampung Pulo punya tradisi untuk memakamkan anggota keluarga di dalam rumah, makanya banyak makam yang ditemukan di dalam atau halaman rumah warga.
Dari kampung tersebut, banyak guru agama yang mengajarkan ilmunya kepada masyarakat Jakarta. Bahkan, Nyai Salmah, ibu dari seorang ulama besar Betawi Al Habib Ali Al Habsyi Kwitang berasal dari sana.
Di kampung tersebut hidup pula keturunan habib arab dari kalangan Alaydrus yang ditokohkan, salah satunya Al Imam Al Ariefbillah Al Habib Husein bin Muchsin Alaydrus. Ia wafat dan dimakamkan di Kampung Pulo hingga kampung tersebut lebih dikenal dengan nama Kramat Kampung Pulo.
Banyak orang menziarahi makam tersebut, dan sejumlah keturunannya juga menjadi juru dakwah. Beberapa di antaranya adalah Al Habib Sholeh Al Aidrus, Al Habib Muhammad bin Husein Al Aidrus, Al Habib Ibrohim bin Hamid Al Aidid, Syarifah Maimunah Al Jufri, serta banyak anak cucu Habib Husein lainnya.
Salah satu situs bersejarah yang terkenal dari Kampung Pulo adalah mushola Al Awwabn yang didirikan tahun 1927 dan kini sudah disulap menjadi masjid. Ada juga rumah berlanggam Betawi yang sudah berusia ratusan tahun.
Meski semua bangunan kecuali masjid dan makam sudah dibinasakan. Namun, kenangan indah akan Kampung Pulo tak akan pernah binasa.