Memahami “Pintu Belakang” Karya Hanafi
Tiket Pesawat Murah Airy

Jakartakita.com – Lokakarya dan diskusi pembacaan karya “Pintu Belakang | Derau Jawa” dilakukan oleh tiga narasumber, yaitu Agung Hujatnikajennong (fasilitator dan kurator), Riyadhus Shalihin (peneliti seni asal Bandung), dan Stanislaus Yangni (penulis buku ‘Dari Khaos ke Khaosmos, Estetika Seni Rupa’ [Erupsi, 2012] yang berasal dari Lampung), di Ruang Serba Guna Galeri Nasional Indonesia pada 2 Maret 2016 pukul 15.00-18.00 WIB.
Pameran “Pintu Belakang” yang baru saja berlangsung, dan “Oksigen Jawa” yang berlangsung tahun lalu, sebenarnya tidak bisa dipisahkan karena secara tematik dan pengolahannya masih berkisar soal imaji mengenai Jawa. Menurut Stanislaus, Hanafi memang dikenal sebagai pelukis abstrak, namun dia tidak semata hanya mengabstraksikan obyek – ia lebih pada berbagai eksperimen visual yang berkisar pada persoalan batas dan ruang lewat garis. Walau tak banyak, di sepanjang perjalanan karyanya, Hanafi juga melukis figur dengan teknik realis.
Pameran Oksigen Jawa dengan isu yang lebih sempit dan identitas, sebuah pameran geografis yang berhubungan dengan ingatan. Hasil riset Hanafi saat melakukan perjalanan untuk mengumpulkan data, legends, mitos, dan cerita mengenai Jawa yang dianggapnya sebagai ‘noise’-nya Jawa. Kesalahan dramatikal sebagai noise juga, sesuatu yang bukan bunyi utama.

Pada display pameran “Error Noise”, karya bukan direkontruksi dengan kesesuaian yang benar. Noise terpicu antara error dan peletakan penemuan tengkorak manusia Jawa. Di dalam pameran tersebut juga memberikan nuansa baru, yaitu dengan bau-bauan seperti ikan asin yang terhidang diatas ranjang kosong dan rasa seperti kembali ke rumah nenek dengan adanya display 28 setrikaan lama yang dipasang melintang.
Pada karya instalasi Demografi Bakiak, terlihat kerumunan bakiak seperti merambat ke atas, dan di ujung instalasinya hanya tersisa satu bakiak saja. “Vertikalitas bakiak yang bisa menjadi transenden dan misterius sekaligus, satu garis perjalanan waktu pada manusia ketika menemui batas akhir, di mana manusia akan berjalan sendiri-sendiri,” ungkap Riyadhus.

Pada karya Pintu Masuk Tanpa Ontologi, di mana terdapat lagu Surabaya Johnny dan beberapa sanggul jawa, terlihat nuansa masa lalu di sana, bahkan, menurut Stanislaus, “Mereka tampak menjadi ruang-ruang nostalgia bagi yang pernah menyentuh Jawa tetapi lama tak berdialog lagi dengan Jawa.”
Hanafi ingin mengalami perjumpaan kembali dengan Jawa. Seperti ingin menghubungkan Jawa yang dulu ia alami, dan Jawa yang sekarang yang tidak ia rasakan secara utuh. (Indah Purwati)