Forum Rektor Indonesia dan Aliansi Kebangsaan : Bangsa Ini Perlu Haluan Negara
Jakartakita.com – Tanpa disadari, gempita reformasi yang terjadi sejak tahun 1998 hingga sekarang (18 tahun), menyebabkan bangsa Indonesia tidak lagi memiliki rencana jangka panjang pembangunan nasional sebagai haluan bangsa, seperti biasa tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) di era Orde Baru.
Asal tahu saja, hiruk pikuk reformasi telah mereduksi segala sesuatu yang dinilai berbau rezim Orde Baru, termasuk GBHN salah satunya. Padahal, di banyak negara maju, GBHN atau apapun istilahnya, sangat penting sebagai panduan/haluan negara dan amanat rakyat, yang dijalankan oleh Kepala Negara/Presiden agar tercapai cita-cita mulia sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Terkait hal tersebut, beberapa kalangan mulai menginisiasi dibentuknya kembali ‘GBHN’ atau apapun nanti istilahnya. Angin perubahan pun kian bertiup kencang. Antara lain, seperti yang dilakukan Forum Rektor Indonesia dan Aliansi Kebangsaan, yang keduanya merupakan organisasi yang tidak terkait dengan kegiatan politik praktis, dengan menggelar diskusi bertema ‘Posisi Peran Haluan Negara dalam Bangsa yang Majemuk’, di Jakarta, Jumat (11/3/2016).
Sebagai pembicara, hadir Prof. Rochmat Wahab (Ketua Forum Rektor Indonesia) dan Prof. Dr. Laode M. Kamaruddin (Anggota Dewan Pakar FKPPI) serta H. Pontjo Sutowo (Ketua Aliansi Kebangsaan).
Rochmat Wahab menjelaskan, untuk menata kembali Indonesia, maka hirarkhi dan susunan lembaga negara pun perlu ditata kembali. Menurutnya, sekarang ini hirarkhi kepemimpinan dari Pemerintah Pusat ke daerah pun tidak efektif. Bahkan, fungsi dan kelembagaan MPR sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat, misalnya, sekarang ini diturunkan derajatnya.
“Oleh sebab itu, sebagai langkah awal, kita akan kumpulkan semua perwakilan dari seluruh Nusantara, utusan golongan, utusan kerajaan-kerajaan dan lain-lain, untuk bersama-sama merumuskan kembali haluan negara,” ujarnya.
Pontjo Sutowo menambahkan, sebagai sebuah bangsa yang majemuk dengan beragam suku bangsa, perlu ada kesepakatan bersama antara seluruh stakeholder tentang tujuan nasional yang ingin dicapai.
“Indonesia ini kan terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Karena orangnya banyak, dan banyak stakeholder yang tidak terjangkau, sebagai langkah awal perlu ada kesepakatan untuk berdialog dan berkumpul. Bahwa GBHN itu memang merupakan sebuah kebutuhan,” ujar Pontjo.
“Baru kemudian, langkah berikutnya kita melakukan division of work. Bagi-bagi tugas, antara satu dan yang lainnya melakukan apa,” sambungnya.
Adapun Laode mengatakan, diperlukan usaha untuk menyusun rancangan pembangunan nasional yang meliputi segala aspek/bidang pembangunan, sebagai panduan dan amanat rakyat kepada Presiden, selaku penyelenggara pemerintahan menurut pasal 4 ayat 1 UUD 1945.
Panduan dan amanat rakyat tersebut, lanjut Laode, harus mencerminkan bukan saja keragaman kebutuhan dan situasi pembangunan, akan tetapi juga mencerminkan usaha-usaha untuk mengantisipasi integrasi dan dampak-dampak keberadaan negara dalam situasi global dan pengaruh internasional lainnya.
“Nah, panduan dan amanat rakyat tersebut tercermin dalam GBHN atau apapun nanti istilahnya, yang disusun dan ditetapkan oleh MPR sebagai pencerminan demokrasi perwakilan modern,” ujarnya.
“Kita harus kembali bahu membahu menata negara ini. Bangsa ini perlu tertib untuk menjadi bangsa yang besar. Simple saja, kita rumuskan saja visi Indonesia 2045 akan seperti apa? Kita mau sebagai bangsa yang seperti apa?” tandas Laode.