Jadi Backpacker? Siapa Takut!
Jakartakita.com – Ramon Y Tungka adalah seorang traveler/presenter, juga penulis buku travel 100 hari keliling Indonesia. Ia lebih menyukai gaya travelling dengan menggunakan ransel, lebih praktis dan simpel. Baginya, backpacker adalah sebuah attitude.
“Bukan lo begaya. Lebih ke base on pengalaman, lebih tertata hidupnya. Lebih respek sama waktu, temen, barang bawaan, perilaku yang bener. Responsible backpacker, nggak nyampah, nggak cuma mentingin gaya,” ungkap Ramon dalam sebuah talkshow di Indofest 2016, Istora Senayan, Sabtu (9/4/2016).
“Sebelum memulai backpacker, saya terlebih dahulu research tentang tempat, perlengkapan yang tepat dan tentunya safety,” ujar Ramon.
Sekarang banyak pula orang bicara tentang “Let’s Get Lost”, menurut Ramon, “Gembel boleh, tapi tetep pake otak. Karena jika kita di alam dan kita melantangkan “let’s get lost” lalu Tuhan mengabulkan, selesai sudah perjalanan kita. Mendingan kalo di alam, pakai mental hati dan harus tertata selama perjalanan,” jelasnya.
Ramon juga berbagi cerita pengalamannya saat travelling saat menuju Bengkulu, “Waktu itu saya bersama teman numpang truk yang lewat, karena bis habis dari jam tiga. Saya memang orangnya iseng, saya tanya kepada supir truk waktu itu karena dia tidak mengenali saya, saya kerjai dengan mengatakan jika di dalam tas ada golok. Tapi saya terharu dengan jawaban pak sopir ini, dia menjawab, “Saya percaya mas, bahwa orang-orang yang menumpang itu semua orang baik, nggak semua orang Indonesia jahat.”
“Dari situ saya berpikir, saya ‘gak salah lahir di Indonesia. Pernah juga di Kalimantan, saya baru tahu arti istilah “toleransi” atau tepo seliro. Di sana waktu itu sedang bulan puasa, dan kampung itu memang semuanya non-muslim. Mereka mengetahui saya dan teman berpuasa, ketika sahur banyak warga datang ke rumah untuk menemani sahur, dan ketika menjelang berbuka banyak juga datang ke hutan dengan membawa rantang dan makan bersama,” kenang Ramon.
Sementara itu, seorang traveler lain yaitu Nila Tanzil yang sudah keliling 32 negara, berbagi ceritanya berkeliling dunia. Menurutnya, dalam melakukan perjalanan, lakukan riset dahulu, apa yang seru dari tempat itu, lebih baik baca-baca di internet, di-list mau ke mana saja, sehingga waktu jadi lebih efisien.
Nila juga menceritakan pengalamannya berada di Myanmar selama sebulan. “Hari pertama empat orang biksu mengajak aku ke monastery (kuil) mereka.Ternyata susah untuk mencapainya karena terletak di gunung. Naik bis lima jam, naik truk sapi satu jam, lalu jalan kaki. Besoknya pulang, jalan kaki delapan jam menuju halte,” terang Nila.
“Mereka ngajarin filosofi hidup mereka, mereka makan pagi dan siang selebihnya puasa. It’s all in the mind. Jaga barang baik-baik, bila suka teledor, perlu dijaga dengan hati-hati,” ungkap Nila.
Nila juga bercerita tentang pengalamannya ke Flores, “Dulu ketika ke Flores, aku berempat sempat kelaparan. Mencari-cari warung makan tidak ada, sampai ketemu petani dan menawari makan di rumahnya.”
Nila juga membuat Taman Bacaan Pelangi di 37 desa di 14 pulau di Indonesia bagian Timur. Di sana tidak ada akses buku yang berkualitas, fasilitas pendidikan yang minim.
Ramon bisa juga dijumpai di website Discover.id, sedangkan Nila bisa dilirik di websitenya Nilatanzil.com.