Aliansi Kebangsaan : Ideologi Pancasila Jadi Benteng Dari Ancaman Yang Datang Dari Dalam dan Luar
Jakartakita.com – Sebagai sebuah ideologi bangsa, Pancasila tetap menarik untuk terus didiskusikan dalam mencari solusi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Apalagi dengan kondisi saat ini, dimana ketimpangan sosial masih cukup lebar (data Badan Pusat Statistik menyebutkan gini ratio mencapai 0,39% per Maret 2016).
Belum lagi, dalam menyikapi kondisi ancaman dalam hal keamanan dan ketahanan nasional baik yang datang dari luar, berupa ideologi transnasional dan hegemoni asing/global, serta terorisme, maupun yang datang dari dalam negeri sendiri, seperti fundamentalis, merosotnya rasa kebangsaan dan nasionalisme, serta terkikisnya toleransi dan sikap gotong royong di masyarakat.
Menyikapi kondisi tersebut, Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri mengungkapkan bahwa, ideologi Pancasila masih akan tetap menjadi benteng dari ancaman yang datang dari dalam dan luar.
“Ancaman paling aktual saat ini adalah ideologi transnasional dan hegemoni global,” jelas Kiki, dalam forum diskusi rutin bulanan Aliansi Kebangsaan yang dihelat pada hari Jumat (23/9/2016) kemarin di Jakarta, yang bertema ‘Pancasila Sebagai Acuan Nilai Dasar dalam Perumusan Kebijakan Negara (Ipoleksosbudhankam)’.
Kiki lantas menyebut ada dua negara saat ini yang menjadi ancaman nyata terkait ideologi transnasional dan hegemoni global, yaitu China dan AS.
“Secara militer, China memang bukan ancaman buat Indonesia, tapi secara ekonomi dan kependudukan, merupakan ancaman. Mereka (China) ‘masuk’ biasanya dengan cara memberikan bantuan,” terang Jenderal purnawirawan yang pernah bertugas di Timor Timur (sekarang Timor Leste) ini.
Lebih lanjut dijelaskan, dalam hal ideologi Transnasional, ancaman yang terlihat nyata adalah meningkatnya individualisme/liberalisme/kapitalisme, khilafahisme, evangelisme amerika, dan faham radikal lainnya. Selain itu, sebagian kecil anak-cucu PKI dengan motif balas dendam, juga menjadi sumber ancaman bagi Republik ini, yang intinya membuat kondisi Indonesia menjadi tidak stabil.
“Yang lebih parah lagi, kita mengalami masalah fundamental, dimana sistem kenegaraan saat ini tidak cocok. Dimana sekarang ini, ada tumpang tindih fungsi di lembaga-lembaga kenegaraan, misalnya antara Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Juga ada rebutan fungsi antara DPR dan DPD,” jelasnya lagi.
Untuk itu, lanjut dia, bahwa solusi mendesak saat ini adalah dengan mengkaji ulang UUD 2002, mereformasi parpol dan birokrasi, meningkatkan dan memperkuat keamanan nasional (kesadaran bela negara), meningkatkan pembangunan nasional, pembangunan dan penegakan hukum/HAM.
“Dan yang lebih penting lagi adalah, memperkuat pembangunan karakter (budaya) bangsa,” ujarnya.
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri menambahkan, Pancasila sebagai kekuatan ideologis tidak bisa hanya bersifat doktriner dan normative semata seperti selama ini.
“Ideologi Pancasila harus ditransformasikan menjadi ideology terbuka dengan memasukan kontribusi ilmu pengetahuan, teknologi dan social keagamaan,” jelasnya.
Prof. Didin yakin, dengan menjadi ideologi terbuka, Pancasila diharapkan dapat menjelaskan dan menganalisis serta menjadi instrument kritik, membuat umpan balik dan memperbaiki keadaan masyarakat secara rasional, terbuka dan ideologis dalam interaksinya sesama stakeholder bangsa.
Adapun Yudi Latief, Ph.D menyoroti persoalan pembangunan karakter bangsa yang menurutnya menjadi sangat penting di era globalisasi saat ini.
Ia menilai, karakter bangsa memiliki fungsi ekonomi dan politik. Ia lantas memberi contoh negara Denmark, yang indeks kebahagiaannya merupakan yang tertinggi di dunia.
“Ternyata, dalam pendidikan mereka, nilai kejujuran merupakan hal yang paling ditekankan. Di Indonesia, bukan itu yang paling ditekankan,” jelasnya.
Selain ketiga tokoh tersebut, turut hadir dalam diskusi rutin bulanan ini, Dr. Saafroedin Bahar, serta Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo.