IRESS Sebut Beberapa Alasan Ini Kenapa Holding BUMN Migas Mesti Ditunda
Jakartakita.com – Pembentukan Holding BUMN Migas telah ditetapkan Pemerintah melalui PP No. 6 Tahun 2018 pada Februari 2018 yang lalu, dimana Kementrian BUMN telah memutuskan akan mengkonsolidasikan bisnis PT Pertamina Gas (Pertagas) dengan Perusahaan Gas Negara (PGN) melalui skema akuisisi. Proses akuisisi Pertagas oleh PGN ini ditargetkan selesai pada Agustus 2018.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (11/6/2018) kemarin, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengungkapkan, pada awalnya, IRESS mendukung pembentukan Holding BUMN Migas, karena dengan holding, akan tercipta sinergi, efisiensi dan efektivitas pengelolaan industri migas nasional.
“Holding juga akan meningkatkan leverage, value dan kapasitas investasi korporasi ke depan. Karena itu, holding BUMN ini pun harus berkembang bukan saja menjadi perusahaan migas, tetapi menjadi perusahaan energi yang terus membesar. Sehingga Holding BUMN diharapkan akan mampu menyediakan kebutuhan energi yang terus meningkat secara berkelanjutan, serta siap pula bersaing di kancah global,” ujarnya.
Namun belakangan ini, IRESS mempertanyakan aksi holding BUMN di sektor energy ini karena beberapa alasan yang layak dicermati.
“Pertama, jika ingin menjamin dominasi penguasaan negara sesuai konstitusi, mestinya perusahaan yang pemilikan saham negara lebih tinggilah yang mengakuisisi perusahaan yang saham negaranya kecil, bukan sebaliknya,” ucap Marwan.
“Alasan yang kedua, ada kekhawatiran bahwa skema akuisisi yang ditempuh lebih ditujukan untuk melindungi investasi pemegang saham publik, dibanding untuk memberi manfaat optimal bagi negara melalui aset-aset yang ada di Pertagas dan PGN, serta memberi keuntungan terbesar bagi perusahaan induk holding,” jelas dia.
Lebih rinci diungkapkan, turunnya laba bersih PGN dalam 5 tahun terakhir, berkisar dari US$ 891 juta pada 2012 menjadi US$ 143 juta pada 2017 (turun 84%).
Jika diperbandingkan, ternyata laba bersih Pertagas dalam kurun waktu yang sama cukup stabil, yakni berkisar dari US$ 122 juta pada 2012 menjadi US$ 141 juta pada 2017.
Jika diperhatikan lebih rinci, lanjut dia, aset PGN memang meningkat cukup tinggi, yakni dari US$ 2,91 miliar pada 2012, menjadi US$ 6,29 miliar pada 2017.
Dalam kurun waktu yang sama, aset Pertagas hanya meningkat dari US$ 727 juta menjadi US$ 1,93 miliar. Namun, ternyata tingkat return on asset (ROA) PGN dalam 5 tahun terakhir justru lebih buruk, atau turun dari 19% menjadi 2%, yakni turun sebesar -41%. Sedangkan ROA Pertagas justru lebih baik, yakni turun dari 12% menjadi 7%, atau turun hanya sebesar -11,7%.
“Kondisi ini tidak menguntungkan bagi investor (pemegang saham) asing di PGN,” tambahnya.
Di sisi lain, terang Marwan, kredibilitas Pemerintah/Kementerian BUMN pun patut dipertanyakan, terutama jika melihat kebijakan yang telah diambil sebelumnya dalam penguasaan SDA yang seharusnya dikelola BUMN.
Pasalnya, Kementerian BUMN membiarkan “konco-konco” menguasai pengelolaan SDA strategis yang seharusnya dikelola oleh BUMN, seperti kasus pembelian saham Newmont oleh Medco dan Kiki Barki (Amman Mineral), atau saham Chevron pada PLTP Gunung Salak dan Derajat oleh Prayogo Pangestu (Star Energy).
“Oleh sebab itu, kita meminta agar rencana akusisi tersebut ditunda atau malah dibatalkan,” tegas Marwan.
Sementara itu, Pengamat Energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, dengan sudah selesainya pembentukan holding migas secara regulasi, maka seharusnya kegiatan operasi dari holding tersebut bisa diserahkan ke Pertamina sebagai induk holding.
“Di dalam konteks untuk sub holding-nya terkait penggabungan Pertagas dengan PGN, harusnya pengaturannya oleh induk holding,” ungkap Komaidi.
Dijelaskan, sebagai suatu tindakan korporasi, integrasi Pertagas dan PGN harus dihitung secara cermat dan harus dipilih opsi yang paling efisien.
“Kalau bisa, dipilih mekanisme penggabungan yang tidak perlu ada biaya yang harus dikeluarkan, karena sebetulnya antara PGN dan Pertagas semuanya sudah anak usaha Pertamina,” imbuhnya. (Edi Triyono)