Warga Kesulitan Pesan Ambulance, Pelayanan Dinas Kesehatan Jakarta Menuai Kritikan
Jakartakita.com – Jakarta Monitoring Development (JMD) mengkritisi buruknya pelayanan Dinkes DKI Jakarta.
Hal itu diutarakan Direktur Eksekutif JMD, Mahfud Latuconsina menanggapi kejadian yang menimpa Haldi, warga DKI Jakarta baru-baru ini yang kesulitan memesan ambulans Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta.
“Kami turut prihatin kepada saudara Haldi yang susah mendapat pelayanan kesehatan dari Dinkes DKI Jakarta. Kalau di New York, sigap segera melayani pasien. Ini malah disuruh fotokopi KTP dan KK dulu, pasien dibiarkan. Khawatir keburu meninggal,” ucap Mahfud dalam keterangan resmi yang diterima Jakartakita.com, Minggu (01/7/2018).
Mahfud juga menilai, program Ketuk Pintu Layani Dengan Hati (KPLDH) tidak berjalan optimal. Pasalnya, jarang terlihat dokter yang mendatangi rumah warga. Padahal, untuk menjalankan program tersebut telah disiapkan 481 tim yang terdiri dokter, bidan, dan perawat.
“Yang 481 tim itu di mana ya? Ke mana saja? Jika ditanya ke warga Jakarta, tidak ada yang pernah mendapat pelayanan dokter KPLDH,” tuturnya.
Senada dengan Mahfud, Ketua umum Forum Peduli Warga (FPW) Musa Marasabessy menyayangkan ‘sikap arogan’ oknum pegawai operator layanan darurat 112 yang berkata kasar kepada keluarga pasien yang membutuhkan layanan ambulan.
Menurutnya, sikap tersebut tidak peka terhadap musibah dan tak punya hati kemanusiaan.
“Atas nama Forum Peduli Warga (FPW) DKI Jakarta, sangat kecewa berat, seorang ibu sakit dan butuh ambulan, kok kaku harus meminta foto kopi segala, dan ini sangat merugikan masyarakat,” ujarnya.
Musa juga menilai, tindakan Dinas Kesehatan (Dinkes) yang mempersulit pasien ini menjadi catatan sendiri.
“Selama ini Bapak Gubernur Anies Baswedan hanya mendengar kabar baik saja, padahal Dinkes saat ini jauh lebih buruk dan harus segera mengevaluasi Kadinkes Pemprov DKI Jakarta dan kalau perlu segera mencopotnya,” jelas Musa.
“Kadinkes Pemprov DKI Jakarta itu tak punya hati, saya rasa anak buahnya sudah bertahun-tahun itu, operatornya juga menyampaikan dengan kalimat kasar ke keluarga pasien dan harus segera dicopot. Kadinkes harus meminta maaf dan mengklarifikasinya secara terbuka, ini masalah keselamatan pasien yang utama daripada syarat KTP,” tegas Musa.
Lebih lanjut, Musa menjelaskan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan, nyawa manusia lebih penting dari pada administrasi.
“Dinkes itu sudah banyak masalahnya, mungkin ini saja cara Tuhan menegur keras dengan masalah ambulan. Ada contoh anak buah Kadinkes yang bermain dalam korupsi obat non-fornas di Jakarta Timur yang kasusnya pernah ada, kasus pembangunan rumah sakit di DKI Jakarta yang tak jelas rimbanya, dan banyak lagi dugaan korupsi di Dinkes, dan KPK DKI Jakarta saya berharap bisa masuk ke dalam membongkarnya,” terang Musa.
Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Sereida Tambunan menyebutkan, jumlah ambulan DKI Jakarta tahun 2016 sebanyak 48 unit. Masyarakat DKI yang ingin mendapat layanan, menurut anggota Komisi E dari PDIP tersebut cukup menghubungi nomor 112.
“Ambulan berada di rumah sakit. Dalam keadaan kegawatdaruratan, keselamatan pasien harus diutamakan,” ujarnya.
Sereida menegaskan, apabila ada administrasi yang harus dipenuhi pasien, maka bisa dilakukan pada fase kedua. Itu bisa dijelaskan oleh keluarga pasien melalui telepon. Sehingga ambulan bisa datang cepat dengan membawa kebutuhan yang diperlukan pasien.
“Kalau adminstrasi bisa menyusul, tapi penanganan pasien utama. Semua kebutuhan pasien bisa dijelaskan melalui telepon, agar ambulan datang sudah membawa kebutuhan pasien. Ini untuk mempermudah pelayanan kesehatan bagi warga DKI,” terangnya. (Edi Triyono)