Tawuran Pelajar Perlu Penanganan Semua Pihak
Jakartakita.com – Tawuran antar warga, antar pelajar maupun antar suporter olahraga kerap menghiasi layar televisi dan media akhir – akhir ini. Faktor pemicunya terkadang sangat sepele, namun menimbulkan dampak yang luar biasa hingga jatuhnya korban jiwa.
Menyikapi hal tersebut, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Muhammad Iqbal mengatakan, maraknya tawuran tersebut khususnya di kalangan pelajar dan anak di bawah umur menjadi masalah serius yang harus segera disikapi oleh penegak hukum, keluarga dan masyarakat, agar berbagai kerugian baik material maupun non material bisa dihindari.
Khusus kasus tawuran di kalangan pelajar atau anak di bawah umur, Iqbal menyatakan bahwa mereka tidak sepenuhnya sebagai pelaku. Para pelajar atau anak di bawah umur yang terlibat adalah juga sebagai korban yang harus ditangani secara bersama-sama antar stakeholder.
“Tawuran anak di bawah umur bisa dicegah asalkan kita bersama, negara lain bisa kenapa kita tidak. Jangan kambing hitamkan persoalan politik, budaya ekonomi kita atas tawuran yang terjadi,” ucap Iqbal dalam kegiatan FGD Promoter ketujuh yang mengusung tema ‘Penanggulangan Tawuran dan Perkelahian Yang Melibatkan Pelajar atau Anak di Bawah Umur’ yang dihelat di Wisma Bhayangkari, Jakarta Selatan, Kamis (9/8/2018).
Sementara itu, Kriminolog sekaligus guru besar UI, Ronny R. Nitibaskara, mengatakan, tawuran merupakan salah satu gangguan stabilitas politik, keamanan, dan kehidupan sosial kemasyarakatan. Bahkan, dia menyebut tawuran sebagai bentuk kekerasan jalanan yang merusak dan mengobrak-abrik tatanan publik, mengganggu lingkungan dan dapat menggoyahkan sendi-sendi hukum dan budaya hukum yang ada.
Meski demikian, Ronny menyangkal bahwa tawuran yang kerap terjadi, baik di desa ataupun di kota besar merupakan imbas dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis.
Ronny juga menampik tawuran yang melibatkan pelajar berkaitan erat dengan tingkat kecerdasan dan prestasi belajar seseorang. Menurutnya, fakta di lapangan justru banyak siswa yang berprestasi baik di sekolah juga terlibat tawuran.
“Siswa yang cerdas ternyata punya kontribusi dalam mengatur strategi maupun evakuasi (penyelamatan) diri dan teman-temannya. Bahkan ada anak dari keluarga yang terpandang,” kata Nitibaskara.
Dijelaskan, dalam persepsi pelajar, tindakan kenakalan termasuk tawuran dianggap sebagai manifestasi simbolik untuk menunjukkan eksistensi diri. Mereka mencoba mengidentifikasikan dirinya sebagai remaja yang berbeda dari orang di sekolahnya, di jalan, bahkan di masyarakat.
“Peranan sosial dan kelompok itu pemicunya, jadi harus hati-hati, sebab kadang-kadang juga kasus tawuran itu ada yang nunggangi,” ulasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati menyatakan, kejahatan yang melibatkan anak – anak dalam pantauan KPAI yang tertinggi yaitu; pencurian sebesar 23,9 persen, narkoba 17,8 persen, tindakan asusila 13,2 persen, persetubuhan 12,7 persen, pembunuhan 12,2 persen dan lainnya (termasuk tawuran) 2 persen.
Adapun pemicu tawuran disebabkan oleh lingkungan yang tidak kondusif. Sedangkan faktor – faktor yang memicu seorang anak atau warga berani terlibat dalam tawuran diantaranya, karena faktor pubertas yang sedang mencari jati diri. Kemudian karena pergaulan yang kurang terkontrol sehingga untuk menunjukkan eksistensi diri di hadapan teman-temannya, seorang anak atau masyarakat berani mengambil keputusan sendiri yang condong ke arah negatif.
Sementara timbulnya tawuran sendiri, lanjut Rita, sering terjadi disaat segerombolan anak atau warga nongkrong-nongkrong yang kemudian melakukan kegiatan iseng. Tidak jarang juga dipicu oleh minum – minuman beralkohol yang membuat orang menjadi lupa diri.
“Pelaku maupun korban tawuran harus dirangkul bersama oleh masyarakat, pemerintah, sekolah dan juga keluarga. Ini diperlukan agar dapat memutus mata rantai dari aktifitas brutal yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam tawuran,” kata dia.
Psikolog Anak, Seto Mulyadi menambahkan, tawuran pelajar adalah wujud dari reaksi dari berbagai tekanan yang mereka alami. Akibatnya dititik tertentu tekanan – tekanan yang bertubi-tubi akan memuncak yang dilampiaskan dalam bentuk aksi premanisme.
Menurutnya, dalam kasus ini sebaiknya anak-anak yang mengalami tekanan ini diberikan ruang khusus untuk menyalurkan uneg-unegnya dengan tetap diarahkan ke arah yang lebih positif.
“Sebetulnya ini produk dari lingkungan, anak itu semua baik, tapi karena lingkungan, bisa merubah semuanya. Manakala kekerasan yang ditimpakan ke mereka berlebihan akan berdampak buruk bagi mental anak,” ujar dia. (Edi Triyono)