Jakartakita.com – Mantan Dirut PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan menampik tudingan bahwa kebijakan mengakuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia tahun 2009 silam, merugikan negara.
Meski dalam perjalanannya, hasil produksi blok tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Padahal, Pertamina sudah mengucurkan investasi dengan menjadi participating interest (PI) senilai Rp568,06 miliar di blok tersebut.
Sebagai terdakwa dalam persidangan yang masih berlangsung, Karen mengatakan bahwa akuisisi itu tidak menggunakan APBN.
“Jadi pada tahun 2009, walaupun melakukan Impairment, itu sifatnya – menurut akuntan – ‘dinamis’, jadi setiap tahun apabila ada perubahan parameter, ada perubahan harga minyak dan gas dan ada lagi data baru nilainya bisa pulih atau masih untung, jadi positif. Saya lupa berapa triliun mereka mendapat keuntungan itu,” ucap Karen saat di temui Jakartakita.com, Kamis (5/4/2019).
Karen menambahkan, kerugian yang disebut oleh beberapa pihak tersebut adalah murni kerugian transaksi, sehingga tidak tepat apabila disebut sebagai kerugian negara.
Sementara itu, mengenai penyebab mandeknya produksi blok BMG, menurut Karen, karena saat itu terjadi perubahan harga migas sehingga berpengaruh kepada pendapatan usaha.
“Impairment itu menurut akuntansi, definisinya adalah sesuatu yang dinamis jadi setiap tahun bisa naik turun, apabila ada perubahan parameter ada perubahan harga minyak dan gas, maka hasilnya bisa berubah juga,” tegas Karen.
“Nah, saat itu dan yang mungkin tadi agak lupa disebutkan bahwa lisensi yang di Australia itu bukan PSC. Jadi yang namanya lisensi Australia itu adalah seumur hidup, jadi tidak bisa kita melakukan hitungan impairment hanya 20 tahun, karena aset itu bisa kita miliki seumur hidup selama masih ada kandungannya. Impairment itu adalah merupakan kebijakan dari PHE. Bisa melakukan impairment atau tidak ya itu terserah mereka,” terangnya lagi.
Sementara itu, kuasa hukum Karen, Soesilo Ariwibowo menambahkan bahwa, “Ada satu hal yang krusial yang perlu menjadi konsen kita, bahwa kebijakan impairment memang mutlak sebagai keputusan manajemen. Namun kerugian yang dialami dalam prosesnya, kemudian disama artikan dengan kerugian negara. Pertamina sebagai perusahaan migas terbesar nasional ini telah memiliki dana taktis untuk antisipasi dari berbagai kemungkinan dalam proses investasi. Apalagi itu ada kerugian transaksi berbeda dengan kerugian persero yang namanya konsolidasi, kerugian persero tidak sama dengan kerugian negara. Nah, kerugian negara tidak sama dengan kerugian keuangan negara yang dimaksud oleh UU korupsi. Jadi hal yang krusial jangan sampai membuat anggapan bahwa impairment tadi menjadi sama dengan kerugian negara. Itu sangat berbeda, dan sistem pemeriksaan berbeda karena impairment kebijakan manajemen, tapi kerugian keuangan negara itu mesti diaudit dan mesti investigatif, jadi sangat berbeda hasilnya. Jadi, jangan sampai impairment itu dibawa menjadi satu kerugian, hal itu yang sangat penting,” tandas Soesilo. (Edi Triyono)