Jakartakita.com – Meskipun memiliki potensi energi panas bumi (geothermal) yang besar, pemanfaatannya di Indonesia masih rendah.
Hal ini dibenarkan Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar dalam sebuah acara diskusi dengan media di Jakarta, Selasa (22/10).
Diungkapkan, di antara sekian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dibangun, produksi listrik geothermal Pertamina masih kecil. Saat ini, perusahaan milik swasta yang mendominasi produksi listrik geothermal.
“Posisi BUMN hanya memiliki porsi 38 persen. Sedangkan sisanya dikuasai oleh asing atau swasta domestik. Padahal panas bumi ini menjadi energi masa depan yang perlu kita dorong optimalisasi penggunaannya,” ujar Arie.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina Geothermal Energi Jakarta, Bagus Bramantio mengatakan, pengembangan energi panas bumi (geothermal) di Indonesia terkendala Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Permen tersebut membatasi harga jual energi geothermal.
Menurutnya, harga jual listrik geothermal yang bersumber dari PLTP dibatasi 7,89 sen per kwh. Harga jual tersebut tidak sesuai dengan harga keekonomian.
Oleh sebab itu, kebijakan harga jual listrik geothermal harus didukung oleh pemerintah agar PLN mau membeli listrik geothermal minimal 11 sen per kwh. Jika pemerintah tidak mendukung, sulit mencapai target bauran energi nasional khususnya dari panas bumi. Sebab investor tidak ada yang mau membangun PLTP.
“Kita sedang perjuangkan itu, karena kalau dibiarkan, industri panas bumi akan tenggelam. Pasti tidak akan ada investor yang mau bangun, kalau nggak ada profit,” tutur Bagus.
Lebih lanjut Bagus menilai, perlu adanya perubahan Permen (Peraturan Menteri). Bila sudah sesuai harga keekonomian, dipastikan akan banyak investor yang siap membangun PLTP karena potensi panas bumi Indonesia sangat besar.
Data Kementerian ESDM menyebutkan, potensi panas bumi nasional sebesar 29,45 Mega Watt (mw). Namun saat ini baru terealisasi sebesar 1.948,5 mw atau 7 persen dari total potensi yang ada.
Adapun yang dikelola oleh PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) saat ini sekitar 672 mw.
Lebih lanjut Bagus juga mengungkapkan, persoalan lain yang menghambat pengembangan energi panas bumi adalah penolakan dari masyarakat di sekitar area pembangkit. Pasalnya, masyarakat beranggapan apabila di wilayahnya dibangun pembangkit listrik akan merusak ekosistem seperti yang terjadi pada pembangkit listrik dari batu bara.
Padahal, jelas Bagus, tipikal PLTP sangat memperhatikan ekosistem. PLTP hanya bisa dioptimalkan manakala ada air hujan.
Hal itulah yang membuat pembangunan PLTP ini harus benar – benar menjaga lingkungan dan tidak merusak hutan.
“Jadi, banyak penolakan dari masyarakat sebab asumsinya kita merusak, padahal kita enggak (merusak), kita butuh uap untuk gerakkan turbin. Dan uap itu bisa kita hasilkan ketika ada air,” tandasnya. (Edi Triyono)