Jangan Abaikan Gangguan Skizofrenia
Jakartakita.com – Anda masih ingat Kasus Isabella Guzman? Remaja asal Colorado, Amerika Serikat yang menikam ibu kandungnya hingga 151 kali pada 2013.
Lalu pengadilan memutuskan agar ia dirawat di rumah sakit jiwa dalam jangka waktu yang tidak ditentukan dengan alasan gangguan jiwa skizofrenia.
Kasus ini menjadi topik hangat pemberitaan juga di media sosial sehingga banyak orang menjadi penasaran apa itu skizofrenia.
Orang awam biasanya mendefinisikan skizofrenia sebagai halusinasi, delusi, dan memiliki pikiran yang kacau. Hal ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi, diagnosis yang lebih tepat harus dilakukan oleh ahlinya karena harus mengikuti kriteria diagnostik tertentu.
Menurut, Psikolog RS Ciputra Hospital CitraGarden City, Meiske Yunithree Suparman, M.Psi., gangguan skizofrenia memiliki 3 fase perjalanan klinis.
Dimulai dari fase prodromal, yaitu fase awal terlihat gejala gangguan, seperti menarik diri dari lingkungan, konflik di tempat kerja, kesulitan berhubungan sosial, kurang mampu menjaga kebersihan diri. Pada fase ini intervensi medis sudah seharusnya dilakukan untuk mencegah kondisi menjadi lebih serius dan tingkat pulihnya lebih memungkinkan karena dengan penanganan yang tepat pasien skizofrenia bisa hidup mandiri dan aktif di tengah masyarakat. Untuk itu, kesadaran untuk melakukan deteksi dini dari keluarga pasien ikut menentukan masa depan pasien skizofrenia.
Kemudian ada fase aktif, ditandai dengan kekacauan alam pikir, perasaan, tingkah laku. Pasien juga kesulitan membedakan kenyataan versus yang tidak nyata sehingga bicara menjadi kacau.
Selanjutnya, fase residual, yaitu fase sisa dengan gejala-gejala lanjutan, seperti halusinasi atau waham (keyakinan seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan), menarik diri, afek tumpul atau datar serta gejala lainnya namun tidak menonjol. Pada sebagian besar kasus, gejala-gejala di atas seringkali terlihat tumpang tindih pada fase yang berbeda.
Gangguan skizofrenia tidak memandang usia, gender, atau status ekonomi. Namun, gejalanya lebih banyak terdeteksi pada saat usia remaja atau dewasa awal karena pada usia tersebut adalah masa pertumbuhan transisi menuju masa yang lebih matang dan banyak permasalahan yang mungkin belum mampu terselesaikan sehingga mental cenderung mudah rapuh.
Bila skizofrenia sudah terdeteksi sejak dini, Meiske menyarankan agar segera dirujuk ke psikiater atau psikolog untuk mendapatkan penatalaksanaan penanganan lebih lanjut.
“Gangguan skizofrenia merupakan suatu perjalanan panjang bagi mereka yang mengalaminya. Penanganan harus dilakukan sedini mungkin agar tidak terlambat, terlebih kemungkinan terjadinya kesembuhan akan lebih tinggi jika ditangani sejak dini. Untuk itu, Meiske berharap agar masyarakat mulai peduli pada permasalahan gangguan jiwa. Cara sederhana dengan mengenali gejalanya, tidak melakukan perundungan, jangan jauhi dan memberikan label buruk. Bantu mereka (pengidap skizofrenia) mencari pertolongan ke ahlinya,” kata Meiske.
Menurutnya, keluarga juga merupakan faktor penting keberhasilan penanganan pengidap skizofrenia. Ia menyarankan agar keluarga dapat mencari dukungan dengan bergabung bersama komunitas-komunitas pengidap ataupun keluarga pengidap skizofrenia.
Permasalahannya adalah banyak orang enggan untuk memeriksakan diri ke psikolog atau psikiater karena takut di-cap gila dan kendala biaya yang tinggi sehingga orang cenderung mengabaikan dan menutup-nutupinya.
Hal ini ditanggapi oleh Branding and Communication Strategist MiPOWER by Sequis Ivan Christian Winatha yang mengatakan bahwa ada asuransi kesehatan yang menyediakan manfaat perlindungan berupa pertanggungan konsultasi ke psikolog dan pengobatannya, yaitu asuransi kesehatan MiPROTECTION yang memberikan sejumlah penggantian biaya konsultasi ke psikolog sebanyak 5 kali sesi konseling/tahun polis untuk gangguan mental skizofrenia, bipolar, dan OCD sesuai ketentuan polis.
“Generasi milenial nantinya akan menjadi generasi penerus. Itu sebabnya banyak sekali anjuran dan tips hidup sehat bagi milenial agar kita bisa produktif. Tetapi, sehat jasmani saja tidak cukup, mental pun harus sehat. Apalagi, milenial rentan pada gangguan mental semacam skizofrenia maka milenial perlu melengkapi diri dengan perlindungan MiPROTECTION,” sebutnya.
Ditambahkan, produk ini mencakup perlindungan kesehatan mental, perlindungan atas kecelakaan, penyakit kritis, dan jiwa. Produk ini dapat dimiliki dari usia 18-55 tahun dengan premi terjangkau mulai dari Rp123.500/bulan sehingga milenial dapat memanfaatkannya untuk menjaga kesehatan mental, kesehatan fisik, dan jiwa.
Menutup diskusinya bersama Meiske, Ivan mengajak para milenial untuk menjadikan hari kesehatan jiwa sedunia sebagai momen untuk meningkatkan literasi kesehatan jiwa karena gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja dan dampaknya bukan saja pada soal kejiwaan tapi juga dapat menganggu finansial pasien dan keluarganya sehingga milenial sebaiknya melengkapi diri dengan asuransi MiPROTECTION sebagai cara bijak memproteksi finansial.